DPR AS Desak Larangan Penggunaan AI China di Instansi Pemerintah

Legislator Amerika Serikat, baik dari Partai Republik maupun Partai Demokrat, mengungkapkan komitmen mereka untuk meloloskan undang-undang yang secara tegas akan melarang penggunaan sistem kecerdasan buatan (AI) buatan China di instansi pemerintah federal. Rapat ini berlangsung pada Rabu, 25 Juni 2025, di Capitol Hill, dan mencerminkan kecemasan mendalam atas meningkatnya ketegangan antara Washington dan Beijing dalam hal teknologi dan keamanan.

Ketua Komite Khusus DPR untuk Masalah China, John Moolenaar, memimpin sidang dengan pernyataan yang resonan tentang tantangan yang dihadapi AS. Ia menegaskan, “Kita sedang menghadapi Perang Dingin baru, dan AI menjadi teknologi strategis utamanya.” Moolenaar menambahkan bahwa kepemimpinan di bidang ini sangat menentukan keseimbangan kekuatan di masa depan. Pernyataan ini menunjukkan betapa seriusnya para legislator dalam mempertahankan posisi AS sebagai pemimpin global dalam teknologi AI.

Kekhawatiran ini semakin mendalam setelah peluncuran model AI dari start-up China, DeepSeek, yang mampu bersaing dengan produk-produk dari OpenAI dan Google dengan biaya pengembangan yang jauh lebih rendah. Meski akses China terhadap chip dan teknologi kunci telah dibatasi, munculnya inovasi ini menunjukkan bahwa negara tersebut tetap berusaha untuk mengejar ketertinggalan dalam persaingan AI.

Persaingan antara AS dan China dalam domain teknologi kini menjadi pokok penting dalam rivalitas antara kedua negara. Dalam sidang tersebut, para peserta menekankan bahwa kemenangan di sektor ini adalah krusial tidak hanya untuk keamanan nasional, tetapi juga untuk masa depan geopolitik global. Thomas Mahnken dari Center for Strategic and Budgetary Assessments menekankan bahwa kedua negara terlibat dalam kompetisi jangka panjang yang akan membentuk tatanan politik global ke depan.

Pentingnya pendekatan terhadap AI juga muncul dalam perspektif nilai-nilai di balik teknologi tersebut. Jack Clark dari Anthropic mengungkapkan bahwa AI yang dikembangkan oleh negara-negara demokratis cenderung membawa manfaat bagi umat manusia, sementara AI dari rezim otoriter terikat dengan sifat pengontrolan. “Kita perlu bertindak tegas agar AS tetap unggul,” kata Clark. Pandangannya mencerminkan keraguan yang lebih luas mengenai bagaimana tujuan politik suatu negara dapat membentuk teknologi yang berkembang.

Chris Lehane dari OpenAI juga menyoroti bahwa persaingan antara “AI demokratis” dan “AI otoriter” adalah isu yang sedang hangat dibahas. Taruhan perdamaian global ditentukan oleh arah teknologi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa langkah-langkah legislasi yang diusulkan dapat menjadi bagian dari strategi yang lebih besar dalam mengatasi tantangan global yang dihadapi oleh masyarakat saat ini.

Meskipun ada tekanan untuk memblokir penggunaan AI dari China, langkah ini juga membawa tantangan. Legislator perlu memastikan bahwa kebijakan tidak hanya bersifat reaktif tetapi juga proaktif. Diskusi lebih dalam mengenai apa yang berarti “AI yang aman” untuk keperluan pemerintah AS penting dilakukan agar tidak membatasi inovasi yang sah di dalam negeri.

Dalam konteks ini, legislator AS tidak hanya sedang melakukan tindakan melawan China, tetapi juga berupaya untuk mendefinisikan ulang bagaimana AI akan digunakan dan diatur di masa depan. Ini adalah isu yang akan terus berkembang, seiring dengan kemajuan teknologi yang cepat dan perubahan dalam lanskap keamanan global. Data dan inovasi dari berbagai pihak menjadi penting dalam menjaga keseimbangan di arena teknologi yang semakin kompleks.

Sebagai tambahan, perkembangan ini menunjukkan pentingnya kerjasama internasional dalam mengatur standar dan etika dalam pengembangan AI, agar semua negara dapat memperoleh manfaat dari teknologi ini tanpa jatuh ke dalam kecenderungan otoritarianisme yang berbahaya.

Berita Terkait

Back to top button