Finalis Miss Indonesia 2025 asal Papua Pegunungan, Merince Kogoya, resmi dikeluarkan dari ajang tersebut setelah video yang dianggap mendukung Israel viral di media sosial. Keputusan ini menyebabkan berbagai reaksi yang mengemuka di kalangan warganet, dengan banyak dari mereka menyuarakan dukungan terhadap langkah tegas panitia Miss Indonesia.
Merince, yang sebelumnya menjadi perwakilan Papua Pegunungan, dipulangkan dari karantina setelah video pengibaran bendera Israel yang diunggah dua tahun lalu kembali diperbincangkan. Kontroversi tersebut muncul karena video itu dinilai sebagai dukungan terhadap Zionisme. Setelah pengumuman pemecatan, posisi Merince digantikan oleh Karmen Anastasya dari Papua Pegunungan.
Dalam klarifikasinya melalui Instagram Story, Merince mengatakan bahwa aksinya tidak ada hubungannya dengan dukungan politik, melainkan terkait dengan keyakinan religiusnya. Ia menyatakan, “Saya hanya menjalankan kepercayaan saya sebagai pengikut Kristus untuk berdoa memberkati… namun video saya disebarluaskan dengan berbagai macam pendapat yang tidak benar tentang keyakinan saya.”
Meskipun begitu, Merince mengungkapkan rasa sesalnya terhadap keputusan panitia yang dinilai dipengaruhi oleh opini publik pro-Palestina. Ia merasa perjuangannya selama empat bulan untuk mendapatkan status finalis dijadikan taruhan oleh opini masyarakat yang negatif terhadap tindakan yang dilakukannya.
Sementara itu, reaksi positif dari warganet terhadap keputusan tersebut cukup mengemuka. Banyak pengguna media sosial berkomentar bahwa pemecatan Merince adalah hal yang seharusnya terjadi. Contohnya, salah seorang warganet mengatakan, “Deserve! Dengan dia menganggap genosida yang dilakukan Israel adalah konflik agama saja, sudah menunjukkan dia tidak memenuhi bare minimum sebagai Miss Indonesia.”
Sentimen ini semakin menguat ketika netizen lainnya menegaskan bahwa finalis Miss Indonesia seharusnya memiliki wawasan yang luas dan bisa memahami konteks sosial serta kemanusiaan. Beberapa komentar juga menunjukkan kritik tajam terhadap pandangan Merince terkait Israel dan Palestina, di mana mereka menganggap dukungannya kepada Israel sangat tidak sensitif.
Ada pula warganet yang menggugat kepekaan Merince terhadap penderitaan yang dialami masyarakat Palestina. Hal ini muncul mengingat bahwa negara dan warga Palestina juga memiliki komunitas Kristen, yang seharusnya menarik empati lebih dalam konteks konflik yang sedang berlangsung. Salah satu komentar mencerminkan perasaan ini, “Harusnya punya empati ke Palestina karena sama-sama tertindas.”
Diskusi di media sosial tidak hanya berfokus pada keputusan pemecatan Merince, tetapi juga membuka perdebatan yang lebih luas mengenai posisi dan tanggung jawab seorang wakil publik dalam menyuarakan pendapatnya. Di era informasi saat ini, kesadaran akan konteks sosial dan sejarah sangat penting bagi publik figur, terutama dalam kasus yang sensitif seperti konflik Israel-Palestina.
Melihat dari sisi lain, beberapa pendukung Merince menganggap bahwa tindakan pemecatan ini mencerminkan tekanan yang tidak semestinya dari opini publik. Mereka menilai bahwa individu harus diberi kesempatan untuk menjelaskan keyakinan pribadinya tanpa takut kehilangan status jabatannya.
Polemik ini jelas menunjukkan betapa kompleksnya interaksi antara tindakan individu dan respons sosial di era media digital. Masyarakat kini lebih cepat memberikan pendapatnya, dan dalam konteks seperti ini, opini publik dapat sangat berpengaruh terhadap keputusan resmi, membawa serta implikasi etika dan moral yang mendalam.
Kejadian ini tidak hanya menjadi pelajaran bagi Merince Kogoya, tetapi juga bagi publik figur lainnya tentang pentingnya mengambil sikap yang hati-hati dan peka terhadap isu-isu yang dapat memicu kontroversi di masyarakat.
