
Sejak kemunculan ChatGPT, penggunaannya di Indonesia terus meningkat pesat, mengubah cara masyarakat berinteraksi dengan teknologi informasi. Penggunaan alat berbasis kecerdasan buatan ini tidak hanya terbatas pada kegiatan hiburan, tetapi juga digunakan untuk kebutuhan akademis, seperti membantu dalam mengerjakan tugas sekolah dan universitas. Ronnie Chatterji, Chief Economist OpenAI, mengungkapkan bahwa dalam setahun terakhir, Indonesia telah mengalami lonjakan penggunaan ChatGPT hingga tiga kali lipat.
Dalam forum bertajuk “Unlocking the Economic Impact of AI in Emerging Markets” yang disiarkan oleh East Ventures, Chatterji menyebut Indonesia sebagai salah satu negara berkembang dengan adopsi teknologi kecerdasan buatan tercepat di dunia. “Kami melihat pertumbuhan yang sangat drastis dalam hal penggunaan ChatGPT dan produk OpenAI di Indonesia,” ucapnya. Fenomena ini terutama terlihat pada kalangan anak muda yang cepat beradaptasi dengan teknologi generatif AI untuk memudahkan hidup mereka.
Namun, di balik manfaat yang ditawarkan, terdapat potensi dampak buruk yang mengintai. Sebuah studi dari Media Lab di MIT menunjukkan bahwa penggunaan chatbot dapat merugikan kemampuan berpikir kritis. Penelitian ini melibatkan 54 subjek berusia 18-39 tahun yang dibagi menjadi tiga kelompok: pengguna ChatGPT, pengguna Google Search, dan kelompok tanpa penggunaan kedua platform tersebut. Hasilnya, para pengguna ChatGPT menunjukkan kinerja yang lebih buruk dalam kemampuan bahasa dan analisis dibandingkan dengan kelompok lainnya.
Para peneliti menemukan bahwa tulisannya kurang orisinal, bahkan terindikasi meningkatnya kecenderungan untuk melakukan copy-paste dalam penyelesaian tugas. Hal ini mencerminkan penurunan kreativitas dan keterlibatan mental. Natalita Kosmyna, penulis utama makalah tersebut, mengingatkan bahwa ketergantungan pada teknologi ini dapat mengikis perkembangan mental, terutama di kalangan generasi muda yang otaknya masih dalam fase pertumbuhan. “Otak yang sedang berkembang berada pada risiko tertinggi,” tegasnya.
Di sisi lain, para pengguna yang mengandalkan Google Search menunjukkan tingkat konektivitas saraf yang lebih baik. Mereka memiliki kemampuan otak yang sangat baik dalam memproses informasi, menciptakan ide-ide baru, serta berinteraksi secara aktif. Penilaian dari guru bahasa Inggris juga menunjukkan bahwa esai dari kelompok pengguna ChatGPT dinilai “tidak berjiwa” dan kurang mengandung pemikiran yang mendalam.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa, meski ChatGPT dapat mempermudah akses informasi, penggunaan yang berlebihan dapat menjadikan penggunanya menjadi lebih malas dalam berpikir. Hal ini tentunya menjadi perhatian bagi pendidik, orang tua, dan pembuat kebijakan.
Menarik perhatian adalah dominasi generasi muda dalam adopsi teknologi ini. Menurut Chatterji, Indonesia adalah “pasar anak muda” dengan demografi yang menjanjikan untuk pertumbuhan teknologi. Generasi ini bukan hanya sebagai konsumen pasif, tetapi aktif dalam memanfaatkan ChatGPT untuk berbagai keperluan, mulai dari memahami pelajaran hingga mengembangkan proyek.
Di kalangan profesional, banyak yang mulai menggunakan AI untuk membantu pembuatan keputusan bisnis dan strategi pemasaran. Hal ini menunjukkan bahwa potensi ChatGPT tidak terbatas pada dunia pendidikan, tetapi juga pada sektor bisnis dan industri.
Dengan semua keuntungan dan tantangannya, penting bagi masyarakat untuk lebih bijak dalam memanfaatkan teknologi ini. Pendidikan tentang penggunaan yang tepat dan sehat terhadap alat bantu berbasis AI harus diprioritaskan. Memastikan bahwa kecanduan terhadap ChatGPT tidak menghambat proses berpikir kritis dan kreativitas di kalangan pengguna, terutama di kalangan generasi muda, menjadi tugas bersama.
Sebagai penutup, meski ChatGPT menawarkan berbagai kemudahan, kesadaran akan potensi dampaknya harus menjadi perhatian utama. Dengan pendekatan yang bijak, teknologi ini dapat berfungsi tidak hanya sebagai alat bantu, tetapi juga sebagai sarana pengembangan kemampuan berpikir kritis dan inovatif di masyarakat Indonesia.





