
Kecerdasan buatan (AI) kini mulai menjadi sorotan utama dalam dunia akademis, terutama setelah sebuah studi skala besar menemukan bahwa lebih dari dua juta makalah akademis yang diterbitkan pada tahun 2024 ditulis dengan bantuan AI. Penemuan ini memicu perdebatan hangat mengenai keaslian penelitian dan dampak potensial terhadap integritas akademis secara global.
Studi yang diterbitkan dalam jurnal Science Advances ini dilakukan oleh tim peneliti dari Amerika Serikat dan Jerman, yang menganalisis lebih dari 15 juta abstrak dalam basis data medis PubMed. Melalui teknik analisis linguistik mendalam, para peneliti menemukan bahwa penggunaan kata-kata tertentu—seperti “pivotal”, “showcasing”, dan “grappling”—telah meningkat secara signifikan. Kata-kata ini sering muncul dalam tulisan yang dihasilkan oleh model bahasa besar (LLM) seperti ChatGPT dan Gemini.
Diperkirakan bahwa sekitar 13,5 persen artikel yang diterbitkan pada tahun 2024 menggunakan LLM dalam proses penulisannya, baik untuk meringkas, memproses, maupun menghasilkan konten lengkap. Perubahan gaya penulisan menjadi lebih cair dan naratif, terutama setelah peluncuran ChatGPT pada akhir 2022, menjadi sorotan utama yang menggantikan gaya penulisan yang lebih teknis dan formal yang umum digunakan sebelumnya.
Kekhawatiran yang muncul dari tren ini sangat beragam. Para akademisi mencemaskan akurasi fakta, etika penulisan, dan risiko hilangnya identitas penulis. Salah satu peringatan yang disampaikan dalam studi ini adalah bahwa peneliti mungkin cenderung menyajikan hasil yang terlalu disederhanakan oleh AI. Bahkan, ada kemungkinan data yang dihasilkan menjadi tidak valid tanpa verifikasi manusia.
Bidang studi seperti biomedis, psikologi, dan ilmu sosial menunjukkan persentase penggunaan LLM yang lebih tinggi dibandingkan dengan bidang teknis, seperti matematika dan fisika. Negara-negara seperti Tiongkok, India, dan Brasil mencatat peningkatan dramatis dalam penggunaan AI untuk penulisan akademis.
Menariknya, banyak jurnal saat ini tidak memiliki pedoman yang jelas mengenai penggunaan AI, meninggalkan celah dalam masalah etika dan tanggung jawab penulisan. Sebagian besar penulis tidak mengungkap penggunaan AI mereka, dan beberapa menganggapnya sebagai alat bantu, seperti pemeriksa tata bahasa atau perangkat lunak penerjemahan. Hal ini memicu pertanyaan apakah penggunaan AI lebih dari sekadar bantuan teknis, karena mampu membentuk kembali struktur kalimat dan nada penyampaian.
Dalam jangka panjang, jika penggunaan AI tidak diatur dengan bijak, reputasi penulisan akademis dapat terancam, dan pertanyaan tentang keaslian penelitian menjadi semakin mendalam. Beberapa institusi pendidikan tinggi di Eropa dan AS telah mulai menerapkan kebijakan yang mengharuskan pengungkapan penggunaan AI dalam tugas dan tesis mahasiswa. Namun, kesepakatan mengenai batasan antara bantuan yang sah dan plagiarisme teknologi masih sangat diperlukan.
Peneliti mengungkapkan bahwa dunia akademis perlu mengambil langkah cepat untuk beradaptasi dengan realitas baru yang dibawa oleh era AI ini. Hal ini termasuk kebutuhan untuk mengembangkan sistem verifikasi konten yang kuat dan etika penulisan yang lebih ketat. Tanpa pedoman yang jelas dan pengawasan yang ketat, penulisan ilmiah mungkin tidak lagi mencerminkan pemikiran asli peneliti, melainkan menjadi produk algoritma yang tidak sepenuhnya akurat.
Jika tren ini berlanjut tanpa pengawasan, banyak peneliti khawatir bahwa hasil penelitian akan kehilangan makna dan keasliannya. Situasi ini menjadi peringatan bahwa dunia akademis harus segera menciptakan langkah-langkah untuk melindungi integritas penulisan dan hasil penelitian, memastikan bahwa inovasi tidak mengesampingkan nilai-nilai dasar dari pencarian ilmu pengetahuan.





