
Pacar AI Elon Musk, yang bernama Ani, kini sedang menghadapi kritik yang keras setelah menjadi aksesibel melalui Grok, chatbot AI yang dikembangkan oleh Musk. Ani, yang memiliki karakter animasi yang dapat diajak berinteraksi, telah memicu kontroversi di kalangan orang tua dan masyarakat, terutama karena aplikasi ini ditujukan untuk anak berusia 12 tahun ke atas.
Ani digambarkan sebagai karakter anime pirang dengan penampilan yang cukup menggoda. Dalam gambar yang beredar di media sosial, Ani mengenakan gaun hitam dengan bahu terbuka dan celana ketat jala, serta berbicara dengan suara komputer yang terdengar sensual. Kemampuannya untuk beralih dari perilaku “sangat cinta” menjadi “sangat cemburu” serta memulai percakapan dewasa telah menambah kekhawatiran orang tua terkait dampaknya bagi anak-anak.
Menurut informasi yang diumumkan saat peluncuran, Elon Musk berkomentar, “Ini cukup keren” saat membagikan tangkapan layar Ani. Namun, pernyataan tersebut tidak meredakan kekhawatiran pengguna aplikasi Grok. Banyak yang menganggap bahwa keberadaan Ani sebagai “robot seks anime” dalam aplikasi yang memiliki kategori usia 12+ adalah langkah yang sangat berisiko.
Beberapa pengguna media sosial menyuarakan keprihatinan mereka dengan mengatakan bahwa meskipun ada mode untuk anak-anak, pengaturan ini tidak sepenuhnya aman. “Orang tua tidak bisa mengunci pengaturan tersebut. Ini seperti memberikan akses kepada anak-anak untuk menemukan konten yang tidak sesuai melalui aplikasi yang mereka gunakan untuk mengobrol,” ungkap salah seorang pengguna.
Tanggapan dari Grok mengenai kritik tersebut ialah bahwa meskipun Ani dapat terlibat dalam percakapan dewasa, pengguna harus secara aktif memilih untuk mengakses fitur tersebut. Grok memberi penjelasan bahwa aplikasi ini diberi peringkat 12+ di iOS dan 13+ di Android. Meskipun ada mode anak, Grok mengakui bahwa orang tua masih perlu memantau dan menyesuaikan pengaturan untuk memastikan keamanan anak-anak.
Kritik ini semakin meluas ketika berbagai laporan menjelaskan betapa banyak orang tua dan pendidik merasa tidak nyaman terhadap kenyataan bahwa ikut campurnya teknologi dalam kehidupan anak-anak bisa membawa pengaruh negatif. “Lihatlah bagaimana kita semua membahas pelangi di ruang kelas, tetapi kesempatan seperti ini tampaknya tidak menjadi isu utama,” jelas seorang pendukung perlindungan anak.
Dalam konteks yang lebih luas, kemunculan karakter Ani dalam aplikasi Grok menunjukkan bagaimana teknologi AI dapat berada di garis depan dalam topik yang sensitif. Meskipun ada potensi untuk pembelajaran dan hiburan, pertanyaan besar muncul mengenai batasan yang harus ditetapkan dalam penggunaan teknologi ini oleh anak-anak.
Berdasarkan data yang ada, ada dua hal penting yang perlu dicermati: Pertama, ada kebutuhan untuk pengawasan orang tua yang lebih ketat terhadap penggunaan aplikasi AI oleh anak-anak. Kedua, pengembang harus mempertimbangkan dampak sosial dan moral dari karakter dan konten yang mereka ciptakan.
Meskipun Ani menawarkan bentuk interaksi yang baru dan menarik, tantangan yang dihadapi adalah menciptakan keseimbangan antara inovasi teknologi dan perlindungan anak. Bersamaan dengan itu, penting bagi masyarakat untuk terus berdialog tentang bagaimana mengatur penggunaan teknologi baru agar tetap aman dan bertanggung jawab. Dengan demikian, kasus Ani bisa dijadikan pelajaran berharga bagi semua pihak dalam menghadapi era digital yang semakin kompleks.





