Pemerintah Indonesia baru saja menandatangani kesepakatan dengan Amerika Serikat terkait transfer data pribadi. Kesepakatan ini diumumkan oleh Gedung Putih, di mana salah satu poinnya menyebutkan Indonesia berkomitmen untuk memberikan akses data pribadi ke AS. Namun, kebijakan ini memicu berbagai reaksi, terutama dari pengamat telekomunikasi yang menilai bahwa transfer data tersebut harus bersifat resiprokal dan aman.
Heru Sutadi, Direktur Eksekutif ICT Institute, menyatakan bahwa jika Indonesia diminta untuk melakukan sharing data, pemerintah AS pun seharusnya diharuskan melakukan hal serupa. "Sharing data atau transfer data haruslah bersifat resiprokal. Artinya, kita diminta sharing data, ya mereka juga kita wajibkan sharing data," tegasnya. Pernyataan ini menggarisbawahi pentingnya kesetaraan dalam kesepakatan antara kedua negara.
Keamanan Data Pribadi Harus Diutamakan
Heru juga menyoroti kebutuhan untuk menjaga keamanan data yang akan ditransfer. Menurutnya, perlindungan data yang diberikan kepada pemerintah AS harus setara atau lebih tinggi dibandingkan dengan yang diterapkan di Indonesia. "Hal ini untuk memastikan bahwa data pribadi warga negara, termasuk yang sensitif seperti riwayat kesehatan dan data keuangan pejabat negara, tidak terekspos tanpa perlindungan yang memadai," tambahnya.
Sebagai bagian dari kesepakatan, perlu ada ketentuan yang jelas mengenai jenis data yang akan dibagikan, tujuan pemakaiannya, dan durasi penyimpanan data tersebut. Heru menekankan, "Kita tidak bisa memberikan cek kosong," yang artinya pemerintah harus teliti dalam memberikan izin untuk penggunaan data pribadi.
Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP)
Penting untuk dicatat bahwa Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) di Indonesia telah efektif berlaku sejak 17 Oktober 2024. Meskipun aturan pelaksanaan seperti Peraturan Pemerintah (PP) dan otoritas yang mengawasi pelindungan data belum terbentuk, UU ini tetap mengatur bahwa pihak yang akan mengambil data pribadi harus mendapatkan persetujuan dari pemilik data. "Itu yang utama. Sehingga seyogyanya tidak dijadikan bahan atau syarat kesepakatan dagang," kata Heru.
Transparansi Kebijakan Transfer Data
Heru mendesak agar pemerintah Indonesia bersikap transparan dalam kebijakan ini. "Pemerintah perlu memberikan informasi yang jelas kepada masyarakat mengenai kesepakatan ini. Jangan sampai merugikan kepentingan nasional," ujarnya. Dengan cross-border data flow yang semakin intens, penting adanya kebijakan yang menjaga kepentingan kedua belah pihak dan melindungi hak-hak warga negara.
Menurut informasi yang tersedia, kesepakatan ini bertujuan untuk mengatasi hambatan dalam perdagangan, jasa, dan investasi digital antara Indonesia dan AS. Namun, dengan adanya kesepakatan tersebut, masyarakat berhak untuk mengetahui implikasi dari transfer data pribadi ini terhadap privasi dan keamanan informasi mereka.
Tuntutan untuk Tindakan Serupa terhadap Trump
Dari sudut pandang hukum, banyak yang berpendapat agar negara-negara yang berinteraksi dengan AS juga meminta akses serupa untuk data yang dimiliki oleh pejabat tinggi di AS, seperti Presiden Donald Trump. Tuntutan tersebut terkait banyaknya data yang dimiliki Amerika yang bisa berpotensi merugikan jika tidak ada kebijakan saling terbuka. "Jika Indonesia diminta untuk berbagi data, seharusnya AS pun bisa melakukan hal serupa," kata Heru.
Menjaga Keseimbangan dalam Kerja Sama Digital
Pemerintah Indonesia harus berhati-hati dalam menyikapi kesepakatan ini. Ada kebutuhan akan penyelarasan antara hukum domestik dan kesepakatan internasional agar tidak terjadi pergesekan antara kepentingan nasional dan komitmen internasional. Proses ini harus dilalui dengan hati-hati agar data pribadi warga tetap terlindungi dan tidak jatuh ke tangan yang salah.
Kebijakan transfer data pribadi ini menjadi bagian penting dalam era digitalisasi, dan membaca dampaknya dengan jernih adalah langkah awal yang krusial bagi pemerintah Indonesia dan masyarakat.
