
Gorila, khususnya jenis silverback, dikenal sebagai hewan yang kuat dan perkasa. Dengan tinggi mencapai 1,8 meter dan berat hingga 200 kilogram, mereka merupakan simbol kekuatan di dunia satwa. Namun, ada satu fakta mengejutkan di balik tampang gagah tersebut, yaitu ukuran penis gorila yang relatif kecil. Dalam keadaan ereksi, panjang penis gorila hanya berkisar antara 3 hingga 6 cm, bahkan lebih kecil dibandingkan rata-rata ukuran penis bayi manusia saat lahir.
Penyebab dari fenomena ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil dari proses evolusi. Menurut Suzanne Harvey, Kepala Sekolah Dampak dan Kemitraan Nasional di Royal Institution, ukuran tubuh besar gorila secara langsung memengaruhi ukuran alat kelamin mereka. Dalam kelompok sosial gorila, yang berstruktur poligini, di mana satu jantan dominan mengendalikan akses betina, ukuran penis yang kecil menjadi tidak relevan. Persaingan antarjantan lebih banyak terjadi melalui kekuatan fisik daripada ukuran alat kelamin.
Sebagai perbandingan, simpanse memiliki struktur sosial yang berbeda. Dalam kelompok multi-jantan, betina dapat copulate dengan berbagai pejantan, sehingga menyebabkan terjadinya persaingan sperma di antara jantan. Hal ini mengakibatkan perkembangan alat kelamin yang lebih besar, baik penis maupun testis, untuk meningkatkan keberhasilan reproduksi. Menurut data dari IFL Science, ukuran testis simpanse bisa mencapai sepertiga dari berat otaknya, menandakan bahwa seleksi alam bekerja berbeda di antara kedua spesies ini.
Tidak hanya ukuran penis yang mengejutkan, tetapi juga kualitas sperma gorila. Penelitian terbaru menunjukan bahwa sperma gorila bukan hanya sedikit, tetapi juga memiliki kualitas yang rendah. Banyak dari sperma tersebut tidak dapat berenang dengan baik, bahkan ada yang memiliki bentuk abnormal. Namun, hal ini tidak menjadi masalah signifikan bagi populasi gorila karena jantan dominan tidak memiliki pesaing seksual di kelompoknya. Dalam kasus ini, kualitas sperma yang buruk tidak memengaruhi keberhasilan reproduksi mereka.
Di dunia manusia, situasinya jauh lebih kompleks. Meskipun alat kelamin pria seringkali lebih besar dibandingkan primata lainnya, testis mereka justru kecil, menandakan bahwa dinamika sosial memengaruhi keberhasilan reproduksi lebih signifikan daripada faktor biologis. Mark Maslin, seorang profesor Paleoklimatologi di University College London, mengungkapkan bahwa di masyarakat manusia yang kompleks, organ paling penting dalam reproduksi adalah otak. Kecerdasan, status sosial, dan kepemilikan sumber daya menunjukkan betapa rumit dan beragamnya faktor yang memengaruhi peluang reproduksi manusia.
Kandungannya membawa ramuan menarik tentang bagaimana ukuran alat kelamin tidak selalu menjadi indikator kekuatan atau kemampuan reproduksi. Dalam konteks gorila, fakta bahwa ukuran penis kecil tidak memiliki dampak besar pada evolusi mereka menunjukkan betapa kebiasaan sosial dan struktur kelompok memainkan peran penting dalam perkembangan spesies.
Oleh karena itu, ketika mempertimbangkan evolusi dan adaptasi serta dinamika sosial dalam satwa, ukuran alat kelamin menjadi salah satu banyak faktor yang harus diperhitungkan. Analisis tentang gorila ini membuka diskusi lebih dalam mengenai hubungan antara evolusi, perilaku sosial, dan reproduksi di berbagai spesies, termasuk manusia.
Sebagai penutup, meski faktanya mengungkapkan bahwa gorila memiliki ukuran penis yang kecil, hal ini sama sekali tidak meredupkan citra mereka sebagai makhluk yang kuat dan dominan dalam ekosistem mereka. Memahami hubungan antara struktur sosial dan reproduksi di spesies ini bisa menjadi cermin untuk menilai dinamika yang lebih luas dalam dunia satwa dan manusia.





