CEO Nvidia, Jensen Huang, mengungkapkan bahwa jika saat ini ia masih menjadi mahasiswa, ia lebih memilih mendalami ilmu fisika dibandingkan coding atau pemrograman. Pernyataan ini mencerminkan pandangannya soal arah perkembangan kecerdasan buatan (AI) di masa depan, yang menurutnya akan sangat dipengaruhi oleh pemahaman mendalam tentang prinsip-prinsip fisika.
Fokus pada Ilmu Fisika Ketimbang Coding
Jensen Huang, yang terkenal sebagai pendiri perusahaan semikonduktor termahal di dunia, Nvidia, mengungkapkan pilihan kuliahnya jika berkesempatan berkuliah di era sekarang. Ia mengatakan bahwa dirinya akan memilih jurusan yang berhubungan dengan fisika, seperti Fisika, Geofisika, Teknik Elektro, Teknik Mesin, Teknik Nuklir, atau Astronomi, yang secara umum mempelajari sistem tak hidup dan hukum alam. Hal ini berbeda dengan pemrograman yang biasa ditempuh mahasiswa di bidang Teknik Informatika atau Sistem Informasi.
Dalam wawancara dengan wartawan dalam perjalanan menuju Beijing, Huang menuturkan, “Untuk Jensen Huang yang masih muda, berusia 20 tahun, yang sekarang ini lulus, dia mungkin akan memilih ilmu fisika ketimbang perangkat lunak atau software.” Pernyataan ini memberi gambaran bahwa ke depan, pemahaman tentang ilmu fisika menjadi kunci utama menghadapi revolusi AI yang semakin kompleks dan maju.
Karir dan Rekam Jejak Jensen Huang
Jensen Huang menyelesaikan gelar sarjana teknik elektro dari Oregon State University pada tahun 1984 dan memperoleh gelar master dari Stanford University pada 1992. Ia mendirikan Nvidia bersama dua rekannya, Chris Malachowsky dan Curtis Priem, pada 1993. Perusahaan yang bermarkas di California ini kini menjadi pemimpin pasar global dengan kapitalisasi pasar mencapai US$ 4 triliun. Keberhasilan Nvidia erat kaitannya dengan inovasi teknologi di bidang kecerdasan buatan dan grafis komputer.
Era Baru AI: Dari Persepsi ke Penalaran dan Fisika
Huang juga membagikan pandangannya mengenai evolusi teknologi AI selama satu setengah dekade terakhir. Ia menguraikan fase-fase perkembangan AI, dimulai dari "AI Persepsi," yang mencapai puncaknya dengan peluncuran model komputer AlexNet pada 2012. AlexNet menjadi tonggak penting dalam mengembangkan kemampuan mesin mengenali gambar dan pola melalui machine learning.
Selanjutnya adalah era "AI Generatif," yang dikenal melalui produk seperti ChatGPT. Pada fase ini, AI mampu memahami dan menghasilkan bahasa, gambar, serta kode secara kreatif. Huang menggambarkan perkembangan terbaru sebagai era "AI Penalaran," di mana sistem AI dapat memecahkan masalah yang lebih kompleks dan mengenali kondisi baru secara mandiri.
AI Fisik dan Robotik Sebagai Gelombang Berikutnya
Menurut Huang, gelombang AI yang akan datang adalah "AI Fisik." Di tahap ini, AI harus menguasai prinsip-prinsip hukum fisika seperti gesekan, inersia, dan sebab-akibat agar dapat beroperasi secara lebih realistis dan efektif di dunia fisik. Contohnya meliputi kemampuan memprediksi lintasan sebuah bola, menentukan kekuatan genggaman yang pas tanpa merusak objek, serta mengidentifikasi pejalan kaki tersembunyi di balik mobil.
Integrasi kemampuan penalaran fisik ini dalam robotika akan menghasilkan robot tenaga kerja digital atau agen AI yang bisa bernalar. Huang menyebutkan, “Ketika Anda mengambil AI fisik itu dan kemudian memasukkannya ke dalam objek fisik yang disebut robot, Anda mendapatkan robotika.” Hal ini sangat krusial, apalagi Nvidia tengah membangun pabrik berteknologi robotik di Amerika Serikat untuk mengatasi defisit tenaga kerja yang terus meningkat secara global.
Implikasi dan Prospek ke Depan
Langkah Nvidia dalam menggabungkan teknologi AI dengan robotika fisik mencerminkan tren industri teknologi sekarang. Perusahaan-perusahaan besar seperti Microsoft dan Salesforce juga tengah berfokus pada pengembangan agen AI yang semakin canggih dan dapat bekerja secara mandiri.
Huang memperkirakan dalam satu dekade ke depan, pabrik-pabrik dengan sistem robotik canggih akan semakin terealisasi. Robot tenaga kerja digital ini diharapkan mampu mengisi kekurangan tenaga manusia serta membuka peluang automasi di berbagai sektor industri. Dengan demikian, pemahaman yang mendalam tentang ilmu fisika bukan hanya mendukung pengembangan kecerdasan buatan, tetapi juga menjadi fondasi bagi teknologi revolusioner dalam robotika dan manufaktur canggih.
Pernyataan Jensen Huang menegaskan bahwa mengantisipasi era AI canggih tidak cukup hanya dengan menguasai bahasa pemrograman atau software. Ia menunjukkan pentingnya memahami aspek fundamental hukum alam untuk menciptakan teknologi AI yang dapat beradaptasi dan bernalar di dunia nyata. Dengan pendekatan ini, Nvidia memposisikan diri sebagai pelopor dalam menghadirkan masa depan teknologi yang menggabungkan AI dan robotika fisik secara sinergis.
