Ancaman Siber Kuantum di Asia Pasifik: Siapkah Kita Menghadapi Risiko?

Komputasi kuantum kini berada di ambang revolusi teknologi di kawasan Asia Pasifik, dan di balik inovasi ini terdapat potensi risiko yang signifikan bagi keamanan siber. Negara-negara seperti Tiongkok, Jepang, India, Australia, Korea Selatan, Singapura, dan Taiwan menjelma sebagai pemimpin dalam pengembangan teknologi kuantum, didorong oleh dukungan pemerintah dan adopsi di berbagai sektor, terutama finansial dan farmasi. Di satu sisi, kemajuan ini menjanjikan inovasi baru dalam pengamanan informasi, sementara di sisi lain, kemampuan komputer kuantum untuk memecahkan metode enkripsi yang ada menimbulkan kekhawatiran yang mendalam.

Menurut laporan Kaspersky, pasar komputasi kuantum di Asia Pasifik diperkirakan akan mencapai USD 1,78 miliar pada tahun 2032, meningkat dari USD 392,1 juta tahun lalu, angka ini menandakan pertumbuhan pesat dengan tingkat pertumbuhan tahunan gabungan (CAGR) sebesar 24,2%. “Komputasi kuantum adalah garda depan siber berikutnya, yang dapat membuka inovasi terobosan dan sekaligus membawa kita ke era baru ancaman keamanan siber,” ungkap Sergey Lozhkin, Kepala Tim Riset & Analisis Global untuk META dan APAC di Kaspersky.

Kaspersky menyebutkan tiga risiko utama yang perlu diwaspadai terkait ancaman siber kuantum. Pertama adalah "Simpan Sekarang, Dekripsi Nanti". Dalam strategi ini, pelaku ancaman mengumpulkan data terenkripsi dengan rencana untuk mendekripsinya setelah kemampuan kuantum tersedia. Ini khususnya berisiko bagi informasi sensitif, termasuk komunikasi diplomatik dan transaksi keuangan.

Kedua, sabotahe dalam blockchain dan aset kripto. Jaringan blockchain, meskipun sering dianggap aman, tidak kebal terhadap ancaman kuantum. Algoritma Tanda Tangan Digital Kurva Eliptik (ECDSA) yang banyak digunakan sangat rentan terhadap serangan kuantum, berpotensi mengarah pada pemalsuan tanda tangan digital dan manipulasi transaksi.

Ketiga adalah ransomware tahan kuantum. Ancaman ini muncul ketika operator ransomware mulai mengadopsi kriptografi pasca-kuantum untuk melindungi muatan berbahaya mereka. Hal ini dapat menjadikan pemulihan data dari serangan ransomware hampir mustahil, baik menggunakan komputer klasik maupun kuantum.

Meskipun komputasi kuantum belum menjadi ancaman langsung saat ini, transisi ke kriptografi pasca-kuantum memerlukan waktu yang tidak singkat. Persiapan untuk menghadapi ancaman ini harus dimulai sekarang, dengan koordinasi antara komunitas keamanan siber, perusahaan TI, dan pemerintah. Dalam konteks ini, Lozhkin menegaskan bahwa risiko paling krusial bukan hanya merupakan ancaman masa depan, tetapi juga tantangan yang harus diatasi saat ini: data terenkripsi yang berpotensi dekripsi di masa mendatang.

“Keputusan keamanan yang kita buat hari ini akan menentukan ketahanan infrastruktur digital kita selama beberapa dekade mendatang,” tambah Lozhkin. Oleh karena itu, langkah-langkah untuk beradaptasi perlu dilakukan secara proaktif agar tidak menghadapi risiko kerentanan sistemik yang tidak dapat diatasi secara retroaktif.

Khususnya di Asia Pasifik, tingkat adopsi teknologi yang tinggi harus diimbangi dengan kesadaran dan langkah-langkah mitigasi terhadap ancaman siber yang akan datang. Oleh karena itu, penting bagi semua pemangku kepentingan untuk mempersiapkan diri dan menetapkan standar keamanan yang lebih kuat, agar dapat menghadapi tantangan yang dihasilkan oleh inovasi komputasi kuantum.

Berita Terkait

Back to top button