
Sebuah peristiwa menarik perhatian publik ketika 12 kamera pengawas (CCTV) di Jakarta Pusat secara tiba-tiba offline saat aksi demonstrasi yang berujung ricuh terjadi. Kejadian ini memunculkan berbagai kecurigaan di kalangan netizen dan masyarakat yang mengikuti perkembangan situasi terkhususnya di media sosial. Pertanyaannya adalah, mengapa 12 CCTV tersebut tidak aktif pada saat yang sangat krusial?
Informasi mengenai 12 CCTV yang offline ini pertama kali dibagikan oleh akun Twitter @gendut4444. Dalam cuitannya, pengguna tersebut mengunggah tangkapan layar yang menunjukkan 12 lokasi CCTV di Jakarta Pusat, dan mencolok adalah fakta bahwa dari semua titik tersebut, hanya satu kamera yang merekam keadaan jalan pada saat itu. Situasi ini mengundang komentar skeptis dan dugaan bahwa ada upaya untuk menutupi sesuatu. “Mau bunuh orang ya kalian hari ini dimatiin semua @divhumas-polri?,” tulisnya, yang menunjukkan ketidakpuasan terhadap situasi tersebut.
Cuitan ini bukan hanya mendapatkan perhatian dari segelintir netizen, tetapi juga telah dilihat oleh lebih dari 486.000 pengguna Twitter. Berbagai komentar mengikuti, di mana banyak yang meragukan kebetulan ini dan mengaitkannya dengan aksi kekerasan yang terjadi saat demonstrasi. Salah satu komentar dari akun @pelat_baja bahkan mencurigai ada agenda lebih besar di balik kejadian ini, mengedepankan istilah “pembunuhan berencana”.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa keberadaan CCTV sangat krusial dalam memantau dan mengawasi peristiwa penting. Kejadian ini memiliki relevansi yang tinggi, terutama menyusul insiden kematian seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang terjadi di lokasi yang sama selama demonstrasi. Affan meninggal setelah terlindas kendaraan taktis Brimob, menambah ketegangan di tengah aksi unjuk rasa yang sedang berlangsung. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) memerlukan rekaman CCTV yang utuh untuk memberikan penilaian yang akurat mengenai kemungkinan pelanggaran dalam kasus ini.
Komisioner Pemantauan Komnas HAM, Saurlin P. Siagian, menyoroti pentingnya rekaman tersebut untuk mencapai kesimpulan yang berbasis pada fakta. “Kita masih memerlukan potongan-potongan video yang lebih utuh untuk mendapatkan informasi lebih lengkap,” ujarnya dalam sebuah pernyataan. Tanpa rekaman tersebut, mereka tidak dapat memastikan pelanggaran yang terjadi dengan valid.
Kejadian ini menambah kompleksitas dalam situasi sosial yang sudah tegang akibat demonstrasi. Dengan adanya CCTV yang seolah memudar, masyarakat semakin merasa bahwa ada sesuatu yang tidak transparan. Hal ini pun memberi tantangan bagi pihak berwenang dalam memberikan penjelasan yang memuaskan kepada publik.
Dugaan bahwa CCTV dimatikan telah menimbulkan diskusi hangat di linimasa media sosial. Selain kritik terhadap kepolisian, warganet juga menunjukkan keraguan terhadap transparansi dalam penegakan hukum yang berlangsung. Tidak jarang, sorotan juga diarahkan kepada ketidakmampuan sistem pemantauan publik dalam situasi yang mendesak.
Keberadaan CCTV seharusnya menjadi bagian dari jaminan keamanan dan transparansi dalam masyarakat. Namun, ketika kamera-kamera ini tidak berfungsi pada saat-saat kritis, masyarakat berhak untuk mempertanyakan integritas sistem tersebut dan kekuatan hukum yang seharusnya menjaga ketertiban.
Dengan demikian, ketidakaktifan CCTV di Jakarta Pusat saat aksi demo ricuh bukanlah sekadar masalah teknis, tetapi juga menciptakan gelombang skeptisisme dan pertanyaan bagi banyak individu. Ke depan, diharapkan ada langkah konkret dari pihak berwenang untuk menjelaskan dan memperbaiki sistem pemantauan serta menjamin hak-hak asasi manusia dalam setiap situasi.





