
Pemerintah sedang mempertimbangkan untuk memperpanjang insentif bagi mobil hybrid yang diproduksi lokal. Saat ini, insentif berupa diskon Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) sebesar 3 persen akan berakhir pada akhir tahun ini. Untuk mendukung pengembangan industri otomotif ramah lingkungan, penting bagi pemerintah untuk menjaga keberlanjutan insentif ini.
Mobil hybrid atau Hybrid Electric Vehicle (HEV) mendapatkan insentif yang lebih kecil dibandingkan dengan mobil listrik berbasis baterai (Battery Electric Vehicle – BEV). Saat ini, BEV yang diproduksi lokal menerima insentif pajak yang jauh lebih besar, termasuk pajak pertambahan nilai ditanggung pemerintah (PPN DTP) sebesar 10 persen dan PPnBM sebesar 0 persen. Ini jelas memberikan keuntungan yang signifikan bagi produksi BEV dibandingkan HEV.
Penting untuk dicatat bahwa BEV rakitan lokal yang memenuhi syarat Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) hanya perlu membayar pajak 2 persen. Berbeda dengan HEV yang tetap dikenakan tarif pajak normal, termasuk PPN, pajak kendaraan bermotor (PKB), dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB). Hal ini menunjukkan bahwa insentif yang ada saat ini belum optimal untuk menarik minat produsen HEV untuk berinvestasi lebih dalam di Indonesia.
Sejak diberlakukannya insentif, industri otomotif Indonesia mengalami peningkatan signifikan dalam hal produksi dan investasi. Banyak produsen mobil, termasuk yang merakit kendaraan secara lokal, berharap pemerintah dapat mengkaji ulang kebijakan insentif ini. Mereka ingin insentif untuk HEV diperpanjang hingga 2026 untuk mendorong pertumbuhan sektor otomotif yang lebih berkelanjutan.
Selain itu, mobil HEV memiliki potensi untuk menjadi pilihan yang lebih ramah lingkungan dibandingkan kendaraan konvensional. Kombinasi antara mesin bensin dan motor listrik membuat HEV lebih efisien dalam konsumsi bahan bakar. Hal ini menjadi pertimbangan penting dalam upaya mengurangi emisi karbon di Indonesia.
Menurut data, HEV memiliki pangsa pasar yang terus tumbuh dalam beberapa tahun terakhir. Melihat fakta-fakta ini, tidak mengherankan jika pelaku industri otomotif meminta kebijakan yang lebih mendukung untuk HEV. Kebijakan tersebut diharapkan mampu menggugah minat produsen otomotif untuk berinvestasi lebih banyak di segmen ini.
Saat ini, insentif yang diberikan untuk BEV juga menarik perhatian karena adanya pembebasan bea masuk impor sebesar 50 persen untuk unit yang diimpor dalam skema tes pasar. Insentif ini mengurangi bea masuk yang seharusnya mencapai 77 persen hanya menjadi 12 persen. Kebijakan ini diharapkan berlanjut hingga akhir 2025 untuk mengakomodasi pertumbuhan industri otomotif di Indonesia.
Kedepan, diharapkan pemerintah dapat merumuskan kebijakan yang lebih adil bagi semua jenis kendaraan ramah lingkungan. Memperpanjang insentif untuk HEV bisa menjadi langkah penting untuk menciptakan ekosistem otomotif yang berkelanjutan. Ini juga sekaligus memenuhi target pengurangan emisi yang telah dicanangkan oleh pemerintah.
Pihak-pihak terkait juga terus berupaya mendorong edukasi bagi masyarakat mengenai keuntungan menggunakan kendaraan ramah lingkungan. Dengan memperpanjang insentif ini, diharapkan akan ada peningkatan minat dari konsumen untuk memilih mobil HEV yang lebih efisien dan ramah lingkungan.
Kesimpulannya, kelanjutan insentif untuk HEV akan sangat berpengaruh dalam memperkuat industri otomotif lokal. Dukungan dari pemerintah diperlukan agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar, tetapi juga pusat produksi kendaraan ramah lingkungan di kawasan ini.





