Pemblokiran Rekening Nganggur: Pelanggaran Hak Konstitusi dan Ancaman Stabilitas

Lembaga riset dan advokasi kebijakan publik, The PRAKARSA, menyoroti kebijakan pemblokiran rekening oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang dinilai cenderung sepihak dan melanggar hak konstitusi. Kebijakan ini berlaku untuk rekening yang tidak menunjukkan aktivitas transaksi selama lebih dari tiga bulan, dengan tujuan mencegah aktivitas ilegal seperti pencucian uang. Namun, langkah tersebut menuai kritik karena dianggap merugikan masyarakat, khususnya kelompok-kelompok rentan.

Ari Wibowo, peneliti dari The PRAKARSA, mengatakan bahwa tindakan pemblokiran ini bertentangan dengan prinsip negara hukum. Ia mengemukakan, “Pemblokiran ini merupakan pelanggaran serius terhadap hak konstitusional dan hak asasi finansial warga negara, serta berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan.” Ia juga menekankan bahwa status rekening dormant tidak dapat menjadi dasar hukum untuk pemblokiran tanpa adanya indikasi tindak pidana yang jelas.

Regulasi yang ada, seperti UU Nomor 9 Tahun 2013 dan Peraturan PPATK Nomor 18 Tahun 2017, mengatur pemblokiran rekening hanya dalam kasus yang terindikasi sebagai tindak pidana. Oleh karena itu, keputusan PPATK yang memblokir rekening berdasarkan status tidak aktif dinilai melanggar hukum.

Dari sudut pandang ekonomi, Roby Rushandie, seorang ekonom dari The PRAKARSA, menambahkan bahwa kebijakan pemblokiran ini telah mengganggu aktivitas ekonomi masyarakat. Ia mengkhawatirkan bahwa kebijakan ini akan menyasar kelompok rentan, seperti lansia dan pekerja informal, yang jarang melakukan transaksi karena keterbatasan infrastruktur. “Pemblokiran rekening yang tidak berhati-hati sudah menyulitkan masyarakat,” ujar Roby.

Menyikapi situasi tersebut, Roby mendesak pemerintah untuk mengevaluasi kebijakan ini secara menyeluruh. Ia berpendapat bahwa penting bagi PPATK dan bank untuk melakukan pemblokiran dengan selektif dan mengadopsi mekanisme transparan dalam prosesnya. Hal ini termasuk pemberitahuan kepada para pemilik rekening sebelum pemblokiran dilakukan, serta prosedur yang tidak menyulitkan untuk reaktivasi rekening.

Sementara itu, Koordinator Kelompok Substansi Humas PPATK, M Natsir Kongah, mengonfirmasi bahwa pihaknya telah membuka akses blokir terhadap 30 juta rekening dormant sejak Mei 2025. Natsir menjelaskan bahwa pembukaan blokir dilakukan secara bertahap setelah melalui proses verifikasi. Namun, kekhawatiran tetap ada mengenai potensi penyalahgunaan rekening dormant yang dapat menjadi sarana kejahatan, seperti pencucian uang dan transaksi ilegal lainnya.

Di samping itu, penting untuk diingat bahwa rekening dormant tetap memiliki kewajiban administrasi, yang terkadang dapat menyebabkan saldo rekening berkurang hingga habis. PPATK pun meminta perbankan agar lebih proaktif dalam memperbarui data nasabah dan memastikan nasabahnya mengetahui keberadaan dan status rekening mereka.

Dalam konteks ini, tindakan yang diambil oleh PPATK perlu didukung oleh kebijakan yang adil dan transparan, agar hak-hak nasabah tetap terjaga. Jika tidak, kebijakan tersebut dapat menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap lembaga keuangan dan berpotensi merusak stabilitas sistem keuangan Indonesia. Setiap kebijakan harus mempertimbangkan dampak yang ditimbulkan, terutama terhadap kelompok masyarakat yang sudah rentan.

Dengan pertimbangan ini, diharapkan kedepannya ada dialog yang lebih konstruktif antara pihak-pihak terkait untuk mencapai solusi yang menguntungkan semua pihak dan menjaga integritas sistem keuangan nasional.

Exit mobile version