Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini melaporkan bahwa utang masyarakat Indonesia melalui skema Buy Now Pay Later (BNPL) atau paylater perbankan mencapai Rp22,99 triliun per Juni 2025. Angka ini menunjukkan pertumbuhan signifikan sebesar 29,72% dalam periode tahunan (year-on-year/yoy). Kenaikan tersebut mencerminkan perubahan perilaku konsumsi masyarakat yang semakin terbuka terhadap layanan kredit instan.
Dalam konferensi pers yang diadakan di Jakarta pada 4 Agustus 2025, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menekankan bahwa meskipun porsi kredit paylater dalam total keseluruhan kredit perbankan nasional tergolong kecil—hanya sekitar 0,28%—namun pertumbuhannya yang pesat menunjukkan adanya peningkatan adopsi oleh masyarakat. Saat ini, sudah ada hampir 27 juta rekening yang memanfaatkan layanan ini, dengan tawaran kemudahan dalam berbelanja.
Sementara itu, OJK juga mencatat lembar kredit perbankan nasional secara keseluruhan mengalami perlambatan, dengan pertumbuhan hanya mencapai 7,77% yoy per Juni 2025, dibandingkan 8,43% pada bulan sebelumnya. Pertumbuhan kredit investasi mencatat peningkatan tertinggi, mencapai 12,53% yoy, diikuti oleh kredit konsumsi dan kredit modal kerja yang tumbuh masing-masing 8,49% yoy dan 4,45% yoy.
Dalam risiko yang lebih tinggi, sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menunjukkan pertumbuhan kredit yang lebih rendah, yakni hanya 2,18% yoy. Hal ini mengindikasikan upaya yang lebih besar untuk pemulihan kualitas kredit pada segmen ini, yang selama ini menjadi tulang punggung perekonomian.
Sektor pertambangan dan penggalian menyumbang pertumbuhan kredit yang terbesar, naik sebesar 20,69% yoy. Sektor jasa dan transportasi juga menunjukkan pertumbuhan signifikan masing-masing sebesar 19,17% yoy dan 17,94% yoy. Sektor lainnya, termasuk listrik, gas, dan air, mengalami pertumbuhan 11,23% yoy. Hal ini menandakan ada variasi di sektor-sektor yang mendapatkan akses lebih baik terhadap pembiayaan.
Meskipun terjadi pertumbuhan kredit yang bervariasi, OJK mengungkapkan bahwa tingkat likuiditas di perbankan tetap terjaga dengan baik. Rasio alat likuid terhadap non-core deposit (AL/NCD) berada pada level 118,78%, jauh di atas ambang batas minimum yang ditetapkan yaitu 50%. Demikian pula, rasio alat likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) berada di angka 27,05%, menunjukkan kesehatan yang solid dalam likuiditas.
Dari sisi kualitas aset, rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) tetap dalam batas terkendali. NPL gross tercatat di angka 2,22%, sedangkan NPL net berada di 0,84%. Dian Ediana Rae menekankan, angka-angka ini menunjukkan profil risiko perbankan yang tetap terjaga meski di tengah tantangan dan dinamika ekonomi yang ada.
Kenaikan dalam penggunaan layanan paylater memperlihatkan bahwa masyarakat semakin terbiasa menggunakan fasilitas kredit digital. Meskipun begitu, penting bagi nasabah untuk tetap bijaksana dalam menggunakan produk ini, agar tidak terjebak dalam utang yang tidak terkelola dengan baik. Pihak OJK pun mendorong edukasi dan kesadaran kepada masyarakat tentang penggunaan layanan keuangan yang bertanggung jawab.
Dengan pertumbuhan yang terus menunjukkan tren positif ini, ke depan diharapkan industri perbankan dan fintech dapat berkolaborasi lebih erat dalam menyediakan produk yang tidak hanya menarik, tetapi juga bertanggung jawab. Keseimbangan antara pertumbuhan kredit dan pengelolaan risiko sangat diperlukan agar perekonomian Indonesia dapat tumbuh dengan stabil dan berkelanjutan.
