Filantropi Indonesia Festival (FIFest) 2025 berfungsi sebagai platform penting untuk memperkuat budaya filantropi di Indonesia. Dilaksanakan dari tanggal 4 hingga 8 Agustus 2025, acara ini mengusung tema "Budaya dan Ekosistem Filantropi untuk Dampak yang Lebih Baik: Membuka Potensi Filantropi untuk SDGs dan Agenda Iklim." FIFest tidak hanya menyasar peningkatan kontribusi sektor filantropi, tetapi juga berfokus pada pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) secara berkelanjutan dan berdampak luas.
Dalam pembukaannya, Rizal Algamar, Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Filantropi Indonesia, menekankan pentingnya kolaborasi. Ia mengajak semua pihak untuk bersama-sama melahirkan gagasan dan inisiatif baru yang dapat diterjemahkan menjadi aksi nyata. "Berbagai rekomendasi dari FIFest 2025 ini akan kita rumuskan untuk ditindaklanjuti agar membangun budaya dan ekosistem filantropi yang kuat," ujarnya di sesi diskusi.
Tantangan dalam Filantropi
Meskipun budaya kedermawanan di Indonesia terus berkembang, terdapat sejumlah tantangan yang perlu dihadapi. Franciscus Welirang, Ketua Dewan Penasihat Perhimpunan Filantropi Indonesia, menjelaskan pentingnya transformasi dalam kegiatan filantropi. Kegagalan dalam melaksanakan kegiatan atau rasa kecemburuan sering kali muncul. Menurutnya, "Transformasi ini perlu dikawal bersama untuk menentukan nilai dan arah filantropi di Indonesia."
Budaya kedermawanan harus diintegrasikan dengan praktik modern serta inovasi teknologi. Welirang menekankan bahwa ekosistem hibrida yang memadukan nilai lokal dan agama dengan praktik praktis akan memperkuat lintas sektoral filantropi di Indonesia.
Peran Budaya dalam Filantropi
Amelia Fauzia, Co-Chair Dewan Pakar Perhimpunan Filantropi Indonesia, mengungkap bahwa budaya Indonesia memiliki peran fundamental dalam membangun fondasi filantropi. Ia menyebutkan bahwa budaya kedermawanan lahir dari tradisi lokal, seperti gotong royong dan ajaran agama yang kuat. "Budaya filantropi adalah hasil interaksi antara nilai-nilai agama, adat istiadat lokal, dan faktor sosial-psikologis," ungkap Amelia.
Ada empat pilar yang membentuk budaya filantropi di Indonesia:
- Ajaran agama seperti praktik zakat dan sedekah.
- Tradisi kultural seperti selamatan dan arisan.
- Nilai sosial-psikologis yang mendorong empati.
- Nilai ke-Indonesiaan yang memperkokoh praktik gotong royong.
Filantropi Tradisional dan Institusional
Filantropi di Indonesia terbagi menjadi dua domain: tradisional dan institusional. Amelia menjelaskan filantropi tradisional bersifat spontan dan tidak terstruktur, dengan fokus pada bantuan langsung, sementara filantropi institusional dikelola secara profesional oleh organisasi non-pemerintah (NGO) dan yayasan. "Filantropi institusional berorientasi pada keadilan sosial dengan motivasi beragam, termasuk altruistik dan pragmatis," katanya.
Untuk mencapai ekosistem filantropi yang inklusif dan transformatif, diperlukan jembatan antara kedua domain tersebut. "Tradisi dan institusi harus saling menopang dan mengisi. Tantangan ke depan adalah membangun jembatan antar domain ini agar budaya tidak hanya mendukung tetapi juga tidak menghambat pembangunan berkelanjutan," tambah Amelia.
Menuju Ekosistem Filantropi yang Kuat
FIFest 2025 bertujuan untuk menjadi katalis dalam memfasilitasi dialog, inovasi, dan kolaborasi di antara berbagai pemangku kepentingan. Melalui upaya bersama, diharapkan dapat tercipta sinergi yang kuat guna pengembangan ekosistem filantropi yang terintegrasi.
Sebagai platform penting untuk mendorong kemajuan filantropi di Indonesia, FIFest menjadi langkah konkret dalam memperkuat peran strategis filantropi dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan secara inklusif dan berkelanjutan.
