Mal Sepi Bukan Karena Rohana-Rojali, tetapi Perubahan Gaya Hidup Masa Kini

Mal-mal di Indonesia saat ini menghadapi tantangan besar dengan kondisi pengunjung yang semakin menurun. Namun, menurut Piter Abdullah, seorang ekonom serta Policy and Program Director Lembaga Riset Prasasti, penurunan ini bukan disebabkan oleh fenomena "rombongan hanya nanya" (rohana) dan "rombongan jarang beli" (rojali). Ia menegaskan bahwa penyebab utama dari keheningan pusat perbelanjaan adalah perubahan gaya hidup masyarakat.

Dalam diskusi yang diadakan oleh Prasasti Center for Policy Studies di Jakarta, Piter mengungkapkan, “Kita bisa melihat bagaimana sekarang ini mal-mal sepi. Sebenarnya, bukan karena rohana dan rojali penyebabnya, tetapi utamanya karena gaya hidup yang menunjang perubahan itu.” Fenomena ini mencerminkan pergeseran signifikan cara orang berbelanja dan konsumsi, yang kini lebih mengarah pada platform digital.

Perubahan Gaya Hidup Digital

Gaya hidup masyarakat yang semakin digital sangat mempengaruhi perilaku belanja mereka. Piter menjelaskan bahwa orang lebih memilih untuk berbelanja secara online, menghindari kerumunan di pusat perbelanjaan. "Masyarakat saat ini lebih memilih untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari melalui belanja online, tanpa harus mendatangi lokasi fisik pusat perbelanjaan secara langsung," jelasnya. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan dan keinginan konsumen saat ini dapat dengan mudah dipenuhi melalui teknologi.

Selain itu, kemudahan dalam memesan layanan seperti ojek online atau makanan dari rumah juga mendorong masyarakat untuk tidak ke luar rumah. Contohnya, kebutuhan akan jasa transportasi dapat diselesaikan hanya dengan beberapa klik di smartphone. Hal ini berlaku juga di sektor belanja bahan makanan atau barang-barang umum, di mana konsumen lebih memilih untuk membeli secara online ketimbang mengunjungi supermarket.

Dampak di Pusat Perbelanjaan

Piter menambahkan bahwa perubahan perilaku ini sangat terasa di mal dan supermarket. Misalnya, antrean panjang di kasir yang dulu menjadi pemandangan umum kini jarang ditemukan. "Antrean pembayaran di kasir supermarket sudah jarang terjadi, karena masyarakat yang berbelanja langsung sudah semakin berkurang," ujarnya. Hal ini menunjukkan bahwa pembelian di tempat kini lebih bersifat impulsif atau terbatas pada produk tertentu, bukan seperti dulu di mana belanja adalah kebutuhan utama saat mengunjungi mal.

Potensi Ekonomi Digital

Namun, walaupun pusat perbelanjaan mengalami penurunan pengunjung, Piter menilai bahwa situasi ini membawa potensi ekonomi yang luar biasa. Dia menjelaskan bahwa peningkatan ekonomi digital dapat memicu pertumbuhan ekonomi Indonesia yang lebih tinggi. "Ini adalah potensi ekonomi yang luar biasa. Berapa besar transaksi ekonomi yang sekarang ini sudah kita lakukan melalui digital," tambahnya.

Di sisi lain, sektor tenaga kerja juga meluas dengan munculnya gig economy, di mana banyak individu terlibat sebagai pekerja lepas atau konten kreator. Keberadaan mereka turut memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi digital dan mempengaruhi cara konsumen berbelanja.

Kesimpulan

Kendati pusat perbelanjaan mengalami kondisi ‘sepi’, perubahan ini bukanlah faktor negatif semata. Piter Abdullah berpendapat bahwa perubahan gaya hidup dan kebiasaan berbelanja di era digital merupakan tantangan sekaligus peluang. Dengan memanfaatkan potensi yang ada di sektor digital, Indonesia bisa mencapai target pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.

Transformasi ini membuka jalan bagi bisnis dan individu untuk beradaptasi dengan kebutuhan serta keinginan masyarakat yang berubah seiring waktu. Terlepas dari kondisi mal yang sepi, kemajuan teknologi dan gaya hidup baru ini membuktikan bahwa masyarakat semakin mendekatkan diri pada cara baru berbelanja dan berbisnis.

Exit mobile version