Menteri Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) Maman Abdurrahman memberikan tanggapan tegas terhadap permintaan para pedagang barang bekas, khususnya pakaian bekas, untuk melegalkan bisnis thrifting mereka. Ia menegaskan bahwa pemerintah berfokus pada penertiban masuknya baju bekas impor ke pasar domestik. “Kita tidak bicara thrifting. Yang kita tertibkan itu impor baju bekas. Secara aturan, impor barang bekas itu dilarang,” jelas Maman di Jakarta.
Penertiban ini menjadi penting mengingat volume pakaian bekas impor yang masuk ke Indonesia terus meningkat. Data menunjukkan adanya lonjakan signifikan dalam jumlah barang tersebut. Maman menambahkan bahwa pemerintah juga berkomitmen untuk tetap memberikan penghasilan kepada pedagang thrifting melalui penyaluran produk lokal. Saat ini, lebih dari 1.300 merek lokal telah disiapkan untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Menteri Perdagangan Budi Santoso sebelumnya juga menegaskan bahwa pakaian impor bekas tidak bisa dilegalkan. Ia menekankan bahwa larangan tersebut bukan disebabkan oleh masalah pajak. “Pakaian bekas impor memang dilarang, terlepas dari masalah pajak,” kata Budi. Hal ini menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap regulasi tidak hanya berkaitan dengan pajak, tetapi juga mempertimbangkan aspek kesehatan dan keamanan.
Permintaan untuk legalisasi usaha thrifting muncul dari pedagang di Pasar Senen. Rifai Silalahi, seorang pedagang, menjelaskan bahwa mereka siap untuk memenuhi kewajiban pajak apabila usaha mereka dilegalkan. Ia menilai legalitas adalah solusi yang lebih baik daripada penutupan bisnis mereka. “Bisnis thrifting melibatkan sekitar 7,5 juta orang di Indonesia. Jika pemerintah mematikan usaha ini, banyak yang akan terpengaruh,” ungkap Rifai.
Menurutnya, jika negara-negara maju dapat melegalkan thrifting, hal serupa harusnya juga bisa diterapkan di Indonesia. Pedagang merasa bahwa legalisasi akan membawa dampak positif, baik bagi mereka maupun bagi perekonomian. Mereka menginginkan agar pemerintah mencari jalan tengah yang menguntungkan semua pihak.
Maman menegaskan bahwa pemerintah memiliki tanggung jawab untuk menyeimbangkan antara ketertiban pasar dan keberlangsungan hidup pengusaha kecil. Ia menggarisbawahi pentingnya mencari format dan formulasi substitusi yang tepat. “Kita tinggal mencari cara agar penghasilan pedagang thrifting tetap ada, sambil tetap menertibkan barang bekas yang tidak sesuai peraturan,” ujar Maman.
Krisis lingkungan dan kesehatan akibat pakaian bekas impor yang tidak terkontrol menjadi salah satu alasan utama pemerintah untuk memberlakukan regulasi ketat. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah ingin melindungi masyarakat dari potensi bahaya yang ditimbulkan oleh barang-barang bekas tersebut.
Dalam konteks usaha mikro, legalitas sering kali menjadi permasalahan krusial. Banyak pedagang merasa terancam dengan kebijakan yang tidak memihak dan khawatir akan masa depan usaha mereka. Pemerintah diharapkan dapat menemukan solusi yang lebih inklusif, yang dapat mendukung pedagang yang telah berkontribusi pada perekonomian lokal.
Kedua menteri, Maman dan Budi, mengajak pedagang untuk berpikir kreatif dalam transisi dari barang bekas impor ke produk lokal. Penggunaan produk dalam negeri tidak hanya akan meningkatkan pendapatan masyarakat, tetapi juga mendukung keberlanjutan ekonomi nasional. Ini menjadi momen penting untuk memikirkan bagaimana industri berbasis thrifting dapat tetap beroperasi dengan mematuhi peraturan yang ada.
Keputusan pemerintah ke depan akan sangat bergantung pada diskusi yang konstruktif antara semua pihak. Hal ini penting untuk mencapai kesepakatan yang adil dan berkelanjutan bagi semua pemangku kepentingan. Terakhir, semoga usaha pemerintah dalam menertibkan barang bekas impor juga mendukung misi untuk memperkuat industri lokal di Indonesia.
Baca selengkapnya di: finance.detik.com