Komika Pandji Pragiwaksono menghadapi kontroversi besar setelah materi stand-up komedinya yang disampaikan 12 tahun lalu kembali viral. Materi tersebut dianggap menghina adat dan budaya masyarakat Toraja. Dalam tindak lanjut dari masalah ini, Tongkonan Adat Sang Torayan (TAST) menjatuhkan sanksi adat kepada Pandji.
Sanksi tersebut meliputi kewajiban untuk menyerahkan 48 ekor kerbau dan 48 ekor babi. Selain itu, Pandji juga diharuskan membayar uang tunai sebesar Rp2 miliar. “Persembahan tersebut merupakan simbol pemulihan antara dunia manusia dan dunia awarwah,” jelas Benyamin Rante Allo, Ketua Umum TAST, dalam pernyataannya. Menurutnya, tindakan ini dimaksudkan untuk mengembalikan kehormatan adat Toraja yang dianggap tercemar akibat kelakar sang komika.
Benyamin menekankan bahwa uang tunai Rp2 miliar bukanlah denda, melainkan bentuk tanggung jawab moral. Uang tersebut dijadwalkan akan digunakan untuk kegiatan adat, pendidikan budaya, dan pemulihan simbol-simbol adat yang terpengaruh. “Kami masih terbuka jika Pandji beritikad baik untuk datang dan membahas masalah ini secara langsung,” tambahnya.
Namun, jika Pandji memilih menghindar, ada kemungkinan sanksi adat yang lebih berat akan diberlakukan. Sanksi ini dapat berupa kutukan dari tokoh adat setempat. Selain sanksi adat, situasi Pandji semakin kompleks karena ia juga menghadapi laporan polisi dari Aliansi Pemuda Toraja yang telah didaftarkan ke Bareskrim Polri. Mereka melaporkan Pandji dengan dugaan penghinaan dan ujaran kebencian terkait materi tersebut.
Laporan ini dibuat setelah Pandji tidak merilis klarifikasi atau permohonan maaf kepada masyarakat Toraja. Dobrak kesunyian itu, pada 4 November 2025, Pandji akhirnya mengunggah permintaan maaf di Instagram. Dalam permohonan itu, ia menyatakan, “Saya meminta maaf yang sebesar-besarnya kepada masyarakat Toraja yang tersinggung dan merasa terluka.”
Kasus ini tidak hanya menyoroti aspek hukum, tetapi juga menjembatani pemahaman tentang kekayaan budaya Toraja. Budaya ini sangat kaya dengan simbol dan tradisi, yang dianggap sakral oleh masyarakatnya. Tindakan Pandji, walaupun mungkin tidak dimaksudkan untuk menghina, tetap berdampak besar pada bagaimana masyarakat Toraja merespons dan menjaga kehormatan adat mereka.
Proses penyelesaian masalah ini dapat menjadi pelajaran tentang pentingnya sensitifitas budaya dalam setiap bentuk seni, termasuk komedi. Budaya dan tradisi adalah bagian integral dari identitas masyarakat. Oleh karena itu, menghormati dan memahami budaya orang lain dapat membantu mencegah misinterpretasi yang merugikan.
Di tengah situasi ini, Pandji Pragiwaksono dituntut untuk melakukan introspeksi. Komika ini kini harus mempertimbangkan langkah selanjutnya untuk menyelamatkan reputasinya dan mendamaikan hubungan dengan masyarakat Toraja. Sementara itu, masyarakat juga diajak untuk memahami konteks dalam setiap ungkapan seni. Dalam dunia yang semakin terhubung ini, komunikasi dan rasa saling menghormati menjadi sangat penting.
Ke depan, harapannya adalah terbentuk dialog yang lebih baik antara seniman dan komunitas adat. Dengan dialog yang terbuka, kesalahpahaman dapat diminimalisir, dan penghormatan terhadap budaya dapat terjaga. Apakah Pandji akan mengambil langkah tersebut, ataukah ia akan berpegang teguh pada pendiriannya, masih menjadi tanda tanya. Namun, situasi ini pasti akan menjadi bahan pembelajaran bagi banyak pihak tentang pentingnya menghargai kelinangan budaya di masyarakat multikultural seperti Indonesia.
Baca selengkapnya di: celebrity.okezone.com