Sebuah fenomena kesehatan baru-baru ini menjadi perhatian publik saat seorang dokter di Bandung mengunggah pengalamannya menangani seorang perempuan berusia 21 tahun yang mengalami masalah kesehatan akibat kebiasaannya mengonsumsi seblak secara berlebihan. Dalam unggahan tersebut, dia menyebutkan bahwa pasiennya tersebut mengonsumsi seblak setiap hari, bahkan hingga dua kali sehari, sambil mengabaikan makanan pokok seperti nasi. Akibatnya, pasien tersebut mengalami demam, mual, muntah, dan nyeri perut, yang berujung pada diagnosis gastritis erosif.
Kisah ini menuai banyak reaksi di media sosial, terutama ketika sang dokter menyinggung konsekuensi jangka panjang dari pola makan tidak seimbang, termasuk risiko stunting. Stunting, atau pertumbuhan terhambat pada anak-anak akibat malnutrisi, menjadi salah satu masalah serius di Indonesia, di mana angka prevalensinya mencapai 14% menurut data Kementerian Kesehatan. Penilaian ini sangat penting mengingat pola makan yang tidak seimbang sering berakar dari pemahaman gizi yang kurang tepat.
Seblak, yang merupakan hidangan khas Jawa Barat, dapat beragam dalam hal bahan dan gizi. Secara umum, satu porsi seblak mengandung sekitar 262 kkal, dengan komposisi yang mayoritas terdiri dari karbohidrat dan lemak. Misalnya, porsi seblak seberat 200 gram dapat mengandung 31,15 gram karbohidrat dan 13,31 gram lemak. Namun, masalah muncul ketika porsi yang dikonsumsi terlalu banyak, serta sering kali ditambah dengan bahan-bahan tinggi sodium dan kolesterol seperti MSG dan frozen food.
Berdasarkan penjelasan dokter spesialis gizi, konsumsi seblak dalam porsi yang tidak seimbang bisa menyebabkan penumpukan kolesterol dan kalori yang berlebihan, meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, serta obesitas. Seringkali, seblak juga tidak mengandung cukup nutrisi penting lainnya yang dibutuhkan tubuh, seperti zat besi. Zat besi merupakan komponen vital dalam pembentukan sel darah merah yang bertanggung jawab dalam transportasi oksigen ke seluruh tubuh.
Lebih jauh lagi, pola makan yang kaya karbohidrat tetapi rendah gizi seperti ini terutama berisiko bagi wanita hamil. Wanita dalam masa kehamilan yang kekurangan asupan gizi dapat mengalami anemia, yang berpotensi berdampak buruk bagi pertumbuhan janin. Anemia yang tidak ditangani bisa menyebabkan berat badan lahir rendah dan gangguan perkembangan, yang pada gilirannya meningkatkan risiko stunting pada anak.
Untuk memenuhi kebutuhan gizi, apalagi bagi seorang calon ibu, konsistensi dalam mengonsumsi makanan bergizi sangatlah penting. Kementerian Kesehatan mencatat bahwa wanita dewasa membutuhkan 18 mg zat besi per hari, sehingga pola makan hanya mengandalkan satu jenis makanan seperti seblak menjadi sangat berisiko. Ini menunjukkan pentingnya edukasi tentang pola makan yang sehat dan seimbang bagi masyarakat, terutama di kalangan generasi muda.
Upaya untuk mengatasi dan mencegah stunting harus dimulai dari pembelajaran pola makan yang sehat dan bergizi sejak dini. Melalui pengenalan gaya hidup sehat, ditambah pengetahuan gizi yang tepat, diharapkan kesadaran masyarakat dapat meningkat. Selain itu, popularitas seblak yang melesat di kalangan remaja perlu diimbangi dengan pemahaman yang baik akan risiko kesehatan akibat pola makan yang tidak seimbang.
Sebagai tambahan, penting untuk melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, sekolah, dan komunitas, dalam kampanye edukasi gizi demi menurunkan angka stunting di Indonesia. Kesehatan generasi mendatang sangat bergantung pada pemahaman atas pentingnya pola makan seimbang dan asupan gizi yang tepat, serta komitmen untuk memperbaiki kebiasaan makan secara kolektif.
