Ketua Komite III DPD RI, Filep Wamafma, mengajak Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk segera membentuk tim investigasi khusus dalam menangani masalah kusta di Papua Barat. Ini menjadi langkah penting untuk mengidentifikasi akar permasalahan, memastikan ketersediaan fasilitas kesehatan, akses terhadap obat-obatan, serta memperoleh data yang akurat mengenai penyebaran dan tingkat penularan penyakit kusta di daerah tersebut.
Sebelumnya, pada Selasa (16/9), Filep berencana untuk menemui Menteri Kesehatan guna membicarakan pembentukan tim investigasi tersebut. Dia menekankan bahwa beberapa puskesmas di Papua Barat mengalami kesulitan dalam menangani pasien kusta akibat terbatasnya pasokan obat. Situasi ini dapat memperburuk penyebaran penyakit dan meningkatkan jumlah kasus baru, sehingga intervensi dari pemerintah pusat menjadi sangat dibutuhkan.
"Saya menerima laporan bahwa tidak ada obat kusta di puskesmas. Petugas medis kesulitan menghadapi masalah ini, dengan semakin banyaknya kasus yang terus menyebar, maka penanganan serius sangat diperlukan," ungkap Filep. Dia juga menyoroti tingginya risiko penularan kusta di lingkungan keluarga, terutama jika tidak ada pengobatan rutin bagi penderita.
Dr. Nurmawati, Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Papua Barat, menjelaskan bahwa kusta disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae. Hingga tahun 2024, tercatat 796 penderita di enam kabupaten dengan prevalensi mencapai 13,76 per 10.000 penduduk. "Pengobatan penyakit kusta sangat lama, biasanya paling cepat melakukan pengobatan selama enam bulan," lanjutnya.
Kusta merupakan salah satu penyakit kronis yang sering terabaikan, dikenal sebagai "neglected tropical disease." Oleh karena itu, penanganannya memerlukan kerjasama semua pihak. Kabupaten Manokwari menjadi yang tertinggi dengan 508 penderita, diikuti Kaimana dengan 105, Teluk Bintuni 76, Fakfak 29, serta Teluk Wondama 64 dan Manokwari Selatan 14 penderita.
Dalam konteks ini, peningkatan kapasitas tenaga medis menjadi hal yang sangat perlu agar pelayanan terhadap pasien dapat lebih optimal. Namun, dr. Nurmawati mengakui bahwa ketersediaan obat-obatan kusta saat ini masih bergantung pada bantuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang disalurkan melalui pemerintah pusat. "Obat kusta ini tidak mudah diperoleh dan hingga kini masih mengandalkan distribusi dari WHO," tegasnya.
Filep juga mendorong agar pemerintah fokus pada pencegahan berbasis keluarga dan memastikan ketersediaan obat, serta meningkatkan edukasi kesehatan untuk masyarakat. Langkah-langkah ini penting untuk mencegah penularan, terutama di kawasan pedesaan yang seringkali kekurangan akses kesehatan.
Penyuluhan kesehatan kepada masyarakat tentang kusta dan cara pencegahannya juga harus digalakkan. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pengobatan yang konsisten dan sikap positif terhadap penderita kusta dapat mengurangi stigma dan mendukung proses penyembuhan.
Sebagai negara dengan tingkat kasus kusta yang cukup tinggi, Indonesia menghadapi tantangan serius dalam menangani penyakit ini. Koordinasi yang baik antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi kesehatan akan menjadi kunci dalam menanggulangi masalah kusta dan mencegah penyebarannya lebih lanjut.
Dengan pembentukan tim investigasi yang diusulkan Filep, diharapkan dapat tercipta rencana aksi yang komprehensif dan efektif untuk mengatasi masalah kusta di Papua Barat, sehingga kesehatan masyarakat dapat terjaga dengan baik.
