Belakangan, tren "10 ribu di tangan istri yang tepat" menjadi sorotan di media sosial. Konten-konten yang menunjukkan kreativitas dalam mengelola uang belanja senilai sepuluh ribu rupiah ini sempat mengocok perut, tetapi terdapat sisi serius yang tak dapat diabaikan: sejauh mana uang ini mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarga? Fenomena ini bukan hanya masalah humor, tetapi juga berkaitan dengan isu kecukupan nutrisi yang mendasar bagi kehidupan sehari-hari.
Menurut Kementerian Kesehatan RI, konsumsi beragam pangan sangat penting untuk menjaga kesehatan. Pedoman Gizi Seimbang (PGS) menganjurkan agar setiap orang mengonsumsi karbohidrat, protein hewani dan nabati, sayur, buah, serta air putih. Namun, dengan anggaran Rp 10 ribu, sangat sulit untuk memenuhi rekomendasi ini, apalagi jika ditujukan untuk seluruh anggota keluarga.
Survei Konsumsi Makanan Individu (SKMI) menunjukkan bahwa keragaman pangan berpengaruh besar terhadap status gizi, terutama pada balita. Temuan ini mengindikasikan bahwa meskipun seseorang makan setiap hari, jika jenis makanan yang dikonsumsi terbatas, risiko kekurangan gizi akan meningkat. Penelitian di World Nutrition Journal (2023) menyoroti bahwa rumah tangga berpenghasilan rendah cenderung mengonsumsi protein hewani, seperti ikan, ayam, dan telur, di bawah rekomendasi harian. Hal ini dikarenakan protein hewani biasanya menjadi komponen pertama yang dipangkas untuk menekan biaya.
Di tengah respon positif terhadap tren ini, muncul kekhawatiran tentang dampak jangka panjang terhadap kesehatan. Data dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024 menunjukkan prevalensi stunting di angka 19,8 persen. Ini artinya, satu dari lima anak di Indonesia mengalami stunting, yang dapat dihubungkan dengan pola makan yang tidak memenuhi kebutuhan gizi.
Dalam konteks individu, mengandalkan Rp 10 ribu per hari mungkin masih bisa terpenuhi. Namun, untuk keluarga yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anak, jumlah tersebut jelas tidak mencukupi. Sebuah porsi makan sehat menurut PGS, seperti yang terdapat dalam prinsip "Isi Piringku", mencakup setengah piring sayur dan buah, dua pertiga piring karbohidrat, dan satu pertiga piring lauk berprotein. Dengan anggaran yang minim, tantangan untuk memenuhi prinsip ini sangat besar.
Dampak dari konsumsi makanan rendah gizi tidak hanya dirasakan dalam jangka pendek. Penelitian yang dipublikasikan di Femina Jurnal Kebidanan (2025) memperlihatkan bahwa kekurangan nutrisi dapat melahirkan masalah kesehatan seperti penurunan daya tahan tubuh, mudah lelah, dan bahkan gangguan emosional. Ketika keluarga hanya mengonsumsi makanan yang murah, cenderung mereka mengonsumsi karbohidrat secara berlebihan dengan sangat sedikit sayur, buah, dan sumber protein. Akibatnya, meski berat badan terlihat normal, kualitas gizi sangat rendah, suatu kondisi yang dikenal sebagai "hidden hunger".
Lebih jauh lagi, beban stres yang dialami oleh ibu rumah tangga dengan tekanan untuk mengatur keuangan dengan sangat ketat ini juga perlu menjadi perhatian. Penelitian yang dimuat dalam Maternal and Child Health Journal menunjukkan adanya hubungan antara ketahanan pangan dan kesehatan mental ibu. Ibu yang berjuang mencari cara untuk menyiapkan makanan bergizi dengan anggaran terbatas cukup rentan terhadap masalah kesehatan mental.
Tren "10 ribu di tangan istri yang tepat" perlu dilihat sebagai refleksi sosial yang lebih dalam mengenai ketahanan pangan dan hak untuk memperoleh gizi yang seimbang. Sementara humor menyertainya, kita tidak boleh melupakan bahwa pemenuhan gizi yang baik sangat penting untuk kesehatan jangka panjang. Kesehatan fisik dan mental seharusnya menjadi prioritas di atas semua hal, dan hal ini hanya bisa dicapai dengan menyadari pentingnya pola makan yang sehat dan bergizi.
Source: health.detik.com
