Kasus demam berdarah dengue (DBD) diperkirakan akan meningkat dengan signifikan di Indonesia, yang merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus tertinggi di Asia. Menurut data dari Badan Kesehatan Dunia (WHO), lebih dari 7,6 juta kasus dengue telah dilaporkan global hingga April 2024, termasuk lebih dari 3.000 kematian. Indonesia sebagai negara yang menyumbang sekitar 66 persen kematian akibat dengue di Asia, menghadapi tantangan serius menjelang musim hujan tahun ini.
Kementerian Kesehatan RI mencatat lonjakan kasus DBD dari 114.720 kasus pada tahun 2023 menjadi 257.271 kasus pada tahun 2024. Hingga akhir Oktober 2025, tercatat 131.393 kasus dengan 544 kematian, menunjukkan bahwa dengue tetap menjadi ancaman kesehatan yang perlu perhatian serius. Peningkatan ini sejalan dengan prediksi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) yang menyatakan bahwa musim hujan akan dimulai lebih awal dari biasanya, meningkatkan risiko penyebaran penyakit akibat populasi nyamuk yang lebih banyak.
Dampak DBD tidak hanya mengancam jiwa. Menurut Prof. Dr. Ghufron Mukti, Direktur Utama BPJS Kesehatan, masalah ini membawa beban finansial yang besar bagi sistem kesehatan nasional. Pada tahun 2021, biaya klaim perawatan pasien demam dengue mencapai Rp626 miliar, yang meningkat hampir dua kali lipat menjadi Rp2,9 triliun pada tahun 2024. Angka ini mencerminkan tantangan besar bagi sektor kesehatan dan ekonomi negara, terutama dalam mempertahankan keberlanjutan layanan kesehatan.
Dari sisi klinis, infeksi dengue menyebabkan komplikasi serius, terutama pada individu dengan penyakit penyerta seperti hipertensi, diabetes, dan obesitas. “Pasien dengan hipertensi dapat mengalami kondisi 2-3 kali lebih berat,” jelas Prof. Dr. Samsuridjal Djauzi, Penasihat Satuan Tugas Imunisasi PAPDI. Hal ini menggarisbawahi pentingnya deteksi dini dan pencegahan agar kasus DBD dapat ditangani secara efektif.
Di sisi lain, anak-anak menjadi kelompok paling rentan. Data menunjukkan bahwa sekitar 43% kasus dengue terjadi pada anak di bawah 14 tahun, dengan proporsi kematian tertinggi pada anak usia 5-14 tahun. Prof. Dr. Hartono Gunardi menyebutkan bahwa kewaspadaan orang tua terhadap tanda-tanda syok pada anak adalah kunci untuk mencegah kematian. “Jika anak tampak lemas atau mengalami nyeri perut hebat, segera bawa ke fasilitas kesehatan,” imbuhnya.
Pencegahan dan strategi imunisasi menjadi sangat penting dalam meminimalkan dampak DBD. Prof. Ghufron menekankan bahwa vaksinasi adalah bagian dari langkah pencegahan yang komprehensif. “Kami berkomitmen untuk mendukung pemerintah dalam mencapai target Zero Dengue Deaths 2030,” tambahnya. Penerapan program 3M-plus serta edukasi masyarakat juga sangat penting untuk mengurangi populasi nyamuk di daerah endemis.
Namun, mengatasi DBD memerlukan pendekatan multilateral. Dr. Asik Surya, Ketua Harian Koalisi Bersama (KOBAR) Lawan Dengue, menegaskan pentingnya kolaborasi di berbagai sektor untuk mencapai hasil yang optimal. “Kepemimpinan ini diperlukan bukan hanya di tingkat pemerintah, tetapi juga di komunitas dan sektor swasta,” ujarnya.
Dalam upaya menanggulangi dengue, Kementerian Kesehatan RI terus memperkuat kerja sama dengan WHO dan pemerintah daerah. Dr. Prima Yosephine menekankan perlunya surveilans dan pengendalian vektor agar masyarakat lebih siap menghadapi ancaman dengue yang semakin meningkat. “Kami berusaha memperkuat akses masyarakat terhadap langkah-langkah pencegahan,” ungkapnya.
Mengingat keadaan yang semakin mendesak, tindakan pencegahan harus diutamakan. Penerapan langkah-langkah yang tepat dan responsif sangat penting untuk melindungi kesehatan masyarakat serta mengurangi beban finansial yang ditanggung sistem kesehatan. Dengan kesadaran yang kolektif, diharapkan Indonesia dapat menurunkan angka kematian akibat dengue dan mencapai target yang telah ditetapkan.
Source: lifestyle.bisnis.com
