Revisi Undang-Undang Pemilu perlu menjadi prioritas bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka. Saat Indonesia memasuki era baru, reformasi sistem politik diperlukan untuk mendukung agenda pembangunan yang ambisius.
Situasi politik saat ini semakin tertekan oleh praktik transaksional yang mengakar dalam kontestasi politik. Setiap pemilihan umum menjadi semakin mengandalkan biaya tinggi, menciptakan budaya "beli putus" yang memperburuk kondisi demokrasi. Revisi UU Pemilu bukan hanya langkah administratif, tetapi juga langkah penting untuk menyelamatkan masa depan negara dan stabilitas fiskal.
Sistem politik yang ada berorientasi pada survival individu. Calon legislatif cenderung menghabiskan miliaran rupiah demi meraih popularitas, membuat mereka merasa berhak untuk "mengembalikan modal" setelah terpilih. Hal ini mengakibatkan siklus politik yang tidak efisien dan rentan terhadap korupsi. Dengan demikian, pembaruan sistem pemilu menjadi sangat mendesak.
Model Sistem MMP sebagai Solusi Efisien
Salah satu solusi efektif untuk masalah ini adalah mengadopsi model Mixed Member Proportional (MMP). Sistem ini telah terbukti sukses di beberapa negara, seperti Selandia Baru. Dengan MMP, setiap pemilih mendapat dua suara—satu untuk partai dan satu untuk calon individu. Ini dapat mengurangi biaya kampanye.
Berikut adalah manfaat utama dari sistem MMP:
- Efisiensi Penghitungan Suara: Proses penghitungan dan logistik pemilu menjadi lebih terstruktur.
- Meningkatkan Loyalitas Kader: Menguatkan hubungan antara partai dan anggotanya.
- Menekan Biaya Kampanye: Mengurangi pengeluaran tinggi yang sering kali mencirikan pemilu saat ini.
Penerapan sistem MMP juga memperkuat akuntabilitas antara wakil rakyat dan pemilih. Politisi akan lebih bertanggung jawab terhadap partai politik dan masyarakat, bukan hanya kepada donor atau pengusaha.
Reformasi Tiga Dimensi
Revisi UU Pemilu harus meliputi tiga aspek utama: aktor, manajemen, dan keadilan. Pertama, aktor politik harus diperkuat secara institusi. Peninjauan ambang batas parlemen penting untuk mengakomodasi suara rakyat. Ini juga akan mengurangi kehilangan suara yang selama ini terjadi.
Kedua, dari segi manajemen, RUU Pemilu perlu beradaptasi dengan teknologi digital untuk meningkatkan integritas penyelenggara. Ketiga, reformasi harus bertujuan memberantas praktik politik uang dan premanisme. Itu semua adalah wajah kelam dari demokrasi lokal yang mesti diatasi.
Membangun Partai yang Kuat
Sistem MMP memberikan peluang bagi partai untuk kembali menjadi pilar demokrasi. Dengan struktur kaderisasi yang teratur, partai dapat mengendalikan kampanye dan aktivitas politik secara lebih baik. Ini akan mengurangi ketergantungan pada tim ad hoc yang rentan pelanggaran etika.
Pengawasan dan penegakan hukum juga harus diperkuat. Sanksi yang tegas akan memberikan efek jera terhadap pelanggaran pemilu. Reformasi tidak berhenti hanya pada perubahan sistem, tetapi harus mencakup langkah konkret menuju integritas.
Urgensi Tindakan Segera
Keterlambatan dalam merevisi UU Pemilu dapat berakibat fatal. Tanpa reformasi, Pemilu 2029 berpotensi mengulangi pola politik uang dan fragmentasi yang ekstrem. Kelemahan dalam sistem ini hanya akan mengecilkan kemampuan negara untuk melaksanakan program-program strategis.
Pemerintahan Prabowo-Gibran memiliki mandat untuk merombak sistem yang sudah usang. Dengan langkah berani, negara dapat menuju tatanan politik yang lebih adil dan produktif. Keterpurukan ekonomi dan korupsi akan menjadi masa lalu jika reformasi dijalankan secara konsisten.
Tidak ada jalan lain selain bertindak cepat dan tegas. Revisi UU Pemilu adalah fondasi untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Agenda ini bukan sekadar teknis, melainkan sebuah visi untuk masa depan demokrasi yang lebih baik bagi seluruh rakyat.
Baca selengkapnya di: www.inews.id