Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri mengungkapkan adanya rencana dari salah satu tersangka perekrutan anak ke jaringan terorisme untuk melakukan aksi di gedung DPR. Juru Bicara Densus 88, AKBP Mayndra Eka Wardhana, mengkonfirmasi bahwa tindakan ini berpotensi besar, tetapi berhasil digagalkan melalui penangkapan cepat oleh pihak berwenang.
Sebanyak lima tersangka teridentifikasi dalam kasus ini. Mereka diduga memanfaatkan media sosial untuk merekrut anak-anak. Aktivitas ini memanfaatkan ketidakpahaman anak mengenai ideologi ekstremis dengan cara manipulatif. Mayndra mengatakan, “Salah satu pelaku ini ingin melakukan aksi di gedung DPR.” Namun, identitas para pelaku, termasuk yang merencanakan aksi tersebut, belum diungkap.
Dari hasil penyelidikan, Densus 88 menemukan bahwa satu di antara lima tersangka adalah sosok yang pernah terlibat dalam kasus serupa. Dia merupakan “pemain lama” yang kembali aktif setelah menjalani proses hukuman. Menurut Mayndra, ini menunjukkan bahwa dia berupaya merekrut lagi setelah sebelumnya diproses hukum.
Empat tersangka lain yang ditangkap terdiri dari kelompok usia beragam, dengan rentang antara 18 hingga 47 tahun. Tersangka tersebut adalah FW alias YT (47), LM (23), PP alias BMS (37), MSPO (18), dan JJS alias BS (19). Dalam penjelasannya, Mayndra menekankan pentingnya pengawasan yang lebih ketat mengenai pengaruh ideologi ekstremisme terhadap anak-anak.
Upaya rekrutmen ditujukan kepada anak-anak dengan memanfaatkan media sosial. Ini melibatkan dialog yang mengarah pada penilaian ideologis, seringkali dengan opsi antara nilai-nilai Pancasila dan ideologi radikal. Anak-anak dihadapkan pada pilihan untuk mengikuti ideologi tertentu, yang semakin memperkuat niat mereka untuk bergabung dengan jaringan terorisme.
Langkah awal sudah diambil oleh Densus 88 untuk mencegah peredaran ideologi ekstremis ini. “Kami akan memperkuat tindakan pencegahan,” pungkas Mayndra. Pihaknya terus memantau pergerakan yang mencurigakan dan tetap berencana melakukan langkah-langkah preventif guna memastikan keamanan.
Melihat dari perspektif yang lebih luas, kasus ini menunjukkan adanya tantangan serius dalam memerangi terorisme. Terutama dalam konteks rekrutmen anak yang menjadi sasaran empuk kelompok radikal. Penerapan strategi komunikasi dan edukasi yang masif menjadi hal krusial.
Di balik penangkapan ini, Densus 88 juga mendalami kemampuan yang dimiliki kelompok teroris dalam memanfaatkan teknologi informasi untuk mencapai tujuan mereka. Mereka berupaya mencari cara untuk kembali menjalankan aktifitas, meskipun sudah ditangkap sebelumnya. Ini membuktikan bahwa pergerakan ekstremis tidak pernah benar-benar padam.
Densus 88 mengevaluasi kembali metode pencegahan dalam mencegah anak-anak terpapar ideologi tersebut. Mereka menekankan bahwa tindakan lebih lanjut harus dilakukan untuk melindungi anak-anak dari pengaruh negatif. Ini menjadi peringatan bagi masyarakat dan aparat hukum agar lebih sigap menghadapi potensi ancaman.
Dari hasil penelusuran ini, masyarakat diharapkan menjadi lebih waspada dan proaktif dalam melindungi anak-anak mereka. Edukasi tentang bahaya ekstremisme dan cara mengidentifikasi pengaruh buruk di media sosial menjadi sangat penting. Sekolah dan keluarga memiliki peran utama dalam membimbing anak-anak untuk tidak terpengaruh oleh ajakan yang berbasis ideologi ekstrimis.
Akhirnya, kasus ini menegaskan pentingnya kolaborasi antara polisi, orang tua, dan pendidik. Dengan kerjasama yang solid, upaya untuk mencegah rekrutmen anak ke dalam jaringan terorisme dapat lebih efektif. Tindakan pencegahan ini penting untuk memastikan masa depan yang lebih aman bagi generasi mendatang.
Baca selengkapnya di: www.beritasatu.com