Komnas Perempuan: Pentingnya Pemberitaan Objektif terkait Isu Femisida, Hindari Sensasionalisme!

Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menggelar pelatihan media pada 24 November 2025 di Jakarta. Pelatihan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemberitaan mengenai femisida, yang masih sering disajikan secara sensasional.

Komisioner Komnas Perempuan, Chatarina Pancer Istiyani, menekankan pentingnya media untuk mengedepankan perspektif korban dalam setiap pemberitaan. Ia menyatakan bahwa banyak penulisan yang menggunakan istilah yang tidak sensitif. Misalnya, penggunaan istilah seperti “penagih utang” atau “pekerja seks komersial” dapat memperburuk beban psikologis keluarga yang tengah berduka.

Stigma ini dapat menjauhkan publik dari pemahaman utuh mengenai konteks kekerasan berbasis gender. Pelatihan diharapkan dapat membantu jurnalis memahami lebih dalam mengenai budaya patriarki yang menjadi akar femisida. Jurnalis diajak untuk melihat lebih jauh dari narasi permukaan yang seringkali hanya terfokus pada kejadian kekerasan.

Chatarina juga mengingatkan bahwa pemberitaan sensasional dapat berbahaya dan lebih baik untuk dihindari. Detil kondisi korban atau kronologi kejadian yang mendalam bisa ditiru oleh pembaca yang mungkin tidak memiliki niat jahat. Ia mengajak media untuk mencegah narasi victim blaming yang menyalahkan korban atas peristiwa yang terjadi.

“Jangan sampai narasi yang dibangun justru tidak mendukung pencegahan, tetapi malah mendorong pengertian keliru di masyarakat,” tegasnya. Pendekatan ini penting untuk memberikan dukungan kepada korban dan keluarganya, bukan menambah beban psikologis.

Sementara itu, Ira Rachmawati dari Satgas Anti Kekerasan Seksual AJI menjelaskan tujuan pelatihan adalah untuk memperingati 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Ia menyoroti bahwa selama ini pemberitaan seringkali berhenti pada aspek kejadian semata, tanpa menggali akar persoalan.

“Femisida adalah isu kompleks. Kita perlu mengaitkannya dengan sistem yang memungkinkan kekerasan itu terjadi,” paparnya. Menurut Ira, banyak pemberitaan yang tidak berpihak pada korban dan lebih banyak mengangkat narasi dari pelaku.

Ira menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan terjadi di seluruh Indonesia. Namun, media sering kali menampilkan berita yang bombastis, tanpa memberi ruang bagi narasi korban. Pelatihan ini bertujuan mendorong redaksi agar lebih ramah gender.

“Jangan sampai pemberitaan justru membunuh dan memperkosa korban berulang kali secara simbolis,” katanya. Menghormati korban dalam pemberitaan adalah langkah penting untuk menghindari kekerasan simbolik.

Komnas Perempuan berharap bahwa pelatihan ini bisa menjadi langkah awal untuk mendidik jurnalis dalam etika pemberitaan. Ini termasuk penggunaan bahasa yang sensitif dan akurat. Media memainkan peran penting dalam membentuk opini publik. Oleh karena itu, diharapkan media dapat menjadi pendorong perubahan, bukan sebaliknya.

Melalui upaya ini, diharapkan pemahaman masyarakat tentang femisida dan kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat. Hal ini penting agar masyarakat dapat berkontribusi dalam pencegahan kekerasan berbasis gender. Kesadaran akan isu ini diharapkan dapat mengubah cara pandang dan sikap masyarakat.

Menjaga integritas pemberitaan adalah tanggung jawab bersama. Setiap elemen masyarakat diharapkan dapat berperan serta dalam menciptakan lingkungan yang mendukung korban dan memerangi kekerasan terhadap perempuan. Dengan cara ini, kita bisa membangun masyarakat yang lebih inklusif dan sensitif terhadap isu-isu gender.

Baca selengkapnya di: www.beritasatu.com
Exit mobile version