Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Supratman Andi Agtas, mengungkapkan bahwa hingga saat ini dirinya belum menerima salinan resmi Keputusan Presiden (Keppres) mengenai rehabilitasi terhadap tiga mantan direksi PT ASDP Indonesia Ferry. Tiga individu tersebut adalah Ira Puspadewi, yang menjabat sebagai Direktur Utama, Muhammad Yusuf Hadi sebagai Direktur Komersial dan Pelayanan, serta Harry Muhammad Adhi Caksono sebagai Direktur Perencanaan dan Pengembangan.
Supratman menyatakan pentingnya salinan Keppres ini untuk ditindaklanjuti, khususnya agar dapat disampaikan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ia menekankan bahwa tanpa dokumen resmi ini, penjelasan mengenai dampak hukum dari rehabilitasi tidak dapat diberikan. “Saya masih menunggu salinan Keppres-nya untuk saya antarkan nanti ke KPK,” jelasnya kepada wartawan pada Rabu, 26 November 2025.
Pemberian rehabilitasi ini mencuat di tengah kasus korupsi akuisisi PT Jembatan Nusantara, di mana ketiga mantan direksi tersebut terjerat. Meskipun keputusan rehabilitasi digunakan untuk memberikan hak-hak mereka kembali, Supratman menegaskan bahwa proses tersebut tidak akan mengganggu penegakan hukum. “Prinsipnya tidak ada masalah dengan proses penegakan hukum selanjutnya,” tuturnya.
Keputusan rehabilitasi adalah hak prerogatif Presiden Prabowo Subianto. Ia memiliki kewenangan penuh dalam proses ini, yang diatur oleh hukum. Supratman menegaskan bahwa tidak akan ada pengaruh signifikan terhadap prosedur hukum selanjutnya setelah salinan Keppres diterima.
Begitu salinan diterima, rencananya Supratman akan segera membawanya ke KPK. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa segala prosedur yang diperlukan dapat dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Namun, hingga saat ini, salinan tersebut belum ia terima.
Masyarakat menantikan penjelasan lebih lanjut mengenai rehabilitasi ini, terutama terkait dengan hak-hak yang akan diberikan kepada para mantan direksi. Dalam kasus ini, terdapat pandangan berbeda di kalangan publik mengenai proses rehabilitasi tersebut. Beberapa kalangan menyambut baik keputusan ini, yang dianggap memberikan kesempatan kedua bagi individu yang pernah terjerat hukum. Namun, ada juga yang menganggap bahwa keputusan ini bisa menciptakan preseden buruk dalam penegakan hukum.
Proses rehabilitasi bagi mantan narapidana kredibel di mata hukum, asalkan mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan. Pemerintah diharapkan dapat memberikan klarifikasi secepatnya menyusul keputusan ini. Komunikasi yang jelas dari pihak pemerintah menjadi penting agar tidak timbul kesalahpahaman di masyarakat.
Rehabilitasi ini menyiratkan bahwa ada ruang bagi mantan koruptor untuk memperbaiki diri dan kembali berkontribusi kepada negara. Namun, hal ini perlu diimbangi dengan sanksi hukum yang tegas dan pemantauan yang ketat terhadap perilaku mereka setelah rehabilitasi.
Kondisi ini menunjukkan tantangan yang dihadapi oleh pemerintah dalam mengelola citra hukum dan keadilan. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa proses rehabilitasi dilakukan dengan transparan dan berbasis pada prinsip-prinsip keadilan yang adil. Selama ini, publik selalu menaruh harapan agar setiap keputusan yang diambil pemerintah dapat berjalan seiring dengan komitmen dalam memberantas korupsi.
Dengan demikian, semua pihak menantikan langkah selanjutnya dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta KPK dalam merespons keputusan rehabilitasi ini. Harapannya adalah agar langkah tersebut tidak hanya sekadar formalitas, tetapi juga berperan dalam mewujudkan keadilan yang sesungguhnya di Indonesia.
Baca selengkapnya di: news.okezone.com