Polri Simplifikasi 38 Tahap Menjadi 5 Fase: Inovasi Layanan untuk Pengunjuk Rasa!

Polri berkomitmen untuk merombak sistem layanan terhadap pengunjuk rasa. Dalam langkah modernisasi ini, Polri berupaya untuk menciptakan pendekatan yang lebih humanis dan profesional. Hal ini sejalan dengan amanat Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 yang menjamin kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum.

Wakil Kepala Polri, Komisaris Jenderal Polisi Dedi Prasetyo, menekankan pentingnya kajian multidisipliner dalam pembaruan ini. Proses penyusunan regulasi dilakukan dengan melibatkan masukan dari publik dan studi komparatif internasional. “Penyampaian pendapat di muka publik merupakan hak konstitusional. Oleh karena itu, pelayanan kepada pengunjuk rasa perlu disusun agar lebih adaptif dan tetap menjaga keamanan,” tegas Dedi.

Polri tidak terburu-buru dalam menyusun regulasi baru. Semua masukan dari masyarakat sipil, akademisi, serta hasil studi komparatif akan diperhatikan dengan seksama. Ini merupakan upaya agar regulasi yang muncul benar-benar tepat dan bermanfaat. Tim Polri juga akan melakukan studi ke Inggris untuk mempelajari praktik pengendalian massa yang lebih baik dan terukur.

Sistem pengendalian demonstrasi yang sebelumnya terdiri dari 38 tahap kini disederhanakan menjadi lima fase. Penyederhanaan ini dilakukan agar pengelolaan unjuk rasa lebih terukur dan efektif. Prosedur baru yang diatur melalui Peraturan Kapolri No. 1 Tahun 2009 dan Perkap No. 8 Tahun 2009 menekankan penggunaan enam tahapan dalam pengendalian kekuatan, meskipun tetap sejalan dengan standar hak asasi manusia (HAM).

Selanjutnya, setiap tindakan kepolisian akan melalui mekanisme evaluasi berjenjang. Setiap komandan diwajibkan melaporkan progres serta dampak setiap tindakan yang diambil. “Ini menjadi panduan bagi kami untuk terus memperbaiki diri,” ujar Dedi. Pendekatan ilmiah dan berbasis riset juga menjadi pijakan dalam proses pengambilan keputusan.

Perubahan dalam internal Polri tidak hanya berkisar pada prosedur, tetapi juga pada pendekatan sistemik. Keterlibatan berbagai elemen masyarakat sipil menjadi salah satu kunci. Mereka meliputi berbagai organisasi seperti Kompolnas, PBHI, YLBHI, dan Amnesty International Indonesia. Hal ini menunjukkan komitmen Polri untuk menciptakan model pelayanan yang partisipatif dan transparan.

Terdapat juga catatan mengenai kendala yang mungkin dihadapi di lapangan. Beberapa daerah mengalami keterbatasan alat dan sumber daya. Temuan ini menjadi masukan untuk perbaikan lebih lanjut dalam pengaturan SOP. Polri ingin memastikan bahwa semua layanan publik yang diberikan, khususnya dalam konteks pengamanan unjuk rasa, benar-benar responsif terhadap kebutuhan masyarakat.

Langkah-langkah yang diambil oleh Polri menunjukkan sikap proaktif dalam menyikapi dinamika unjuk rasa masyarakat. Melalui modernisasi ini, Polri berharap dapat menciptakan suasana yang lebih kondusif bagi semua pihak. Tingkat adaptabilitas dan responsivitas menjadi fokus utama dalam pengembangan sistem keamanan publik.

Dengan pendekatan ini, Polri berharap akan terwujud pengelolaan yang lebih baik dalam setiap aksi unjuk rasa. Upaya ini bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat masyarakat sambil tetap menegakkan hukum. Pengawasan dan evaluasi yang ketat akan mendukung proses perbaikan berkelanjutan. Ke depannya, semua langkah ini diharapkan dapat menciptakan relasi yang lebih harmonis antara Polri dan masyarakat.

Exit mobile version