Penjelasan Asosiasi Operator Seluler soal Isu Internet Premium WhatsApp Call

Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) memberikan klarifikasi mengenai isu layanan internet khusus untuk Voice over Internet Protocol (VoIP), seperti WhatsApp Call, video call, Skype, Zoom, dan Google Meet. Isu tersebut beredar terkait wacana pembatasan WhatsApp Call yang dianggap membebani jaringan operator seluler nasional.

Wakil Ketua Umum ATSI, Merza Fachys, menegaskan bahwa isu pembatasan WhatsApp Call merupakan kesalahpahaman. ATSI tidak pernah mengusulkan pembatasan layanan tersebut. Pernyataan itu disampaikan untuk meluruskan pandangan yang berkembang di publik. Merza menjelaskan, sebagai asosiasi yang mewakili operator seluler, ATSI mendorong penataan ekosistem digital dan telekomunikasi yang adil dan seimbang sesuai regulasi yang berlaku.

Menurut Merza, layanan over the top (OTT) seperti WhatsApp, yang menyediakan voice dan video call, selama ini telah memberikan beban besar pada jaringan operator tanpa kontribusi investasi yang setara. “Layanan OTT voice dan video call sudah menggerus layanan legacy milik operator, tapi penyedia OTT belum memberikan kontribusi positif baik ke negara maupun operator,” ujarnya dalam keterangan tertulis pada Senin (28/7).

Beban Jaringan dan Tantangan Operator

Penggunaan layanan OTT yang meningkat pesat memaksa operator memperluas kapasitas jaringan. Namun, penerimaan pendapatan dari penggunaan layanan tersebut tidak sebanding dengan investasi yang dilakukan operator telekomunikasi dalam membangun infrastruktur digital nasional. Operator menghadapi tekanan besar akibat tingginya trafik data yang dihasilkan oleh layanan OTT.

Selain itu, Merza menjelaskan bahwa layanan OTT juga mengikis layanan telepon konvensional yang selama ini menjadi sumber pendapatan penting operator. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan antara biaya investasi dan pendapatan yang diperoleh, sebab OTT yang memanfaatkan jaringan tidak turut berkontribusi dalam pembiayaan infrastruktur.

Dasar Regulasi dan Kewajiban Kerja Sama

Merza menegaskan bahwa pemerintah sebenarnya telah memiliki dasar hukum untuk mengatur penyedia layanan OTT. Contohnya ialah Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (PP 46/2021), serta Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2021. Pasal 15 ayat (6) PP 46/2021 memberikan kewenangan menjalankan pengelolaan trafik guna menjaga kualitas layanan dan kepentingan nasional.

Meski begitu, penegakan regulasi terkait pengaturan OTT belum berjalan optimal. Merza mendorong Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) bekerja sama dengan pemangku kepentingan lain agar regulasi yang sudah ada dapat ditegakkan secara efektif. Ia juga mengusulkan perumusan aturan kewajiban kerja sama (fair share) antara penyedia OTT dan operator jaringan agar pembagian manfaat lebih adil.

Perlindungan Konsumen dan Keamanan Digital

ATSI juga menyoroti persoalan perlindungan konsumen dalam pemanfaatan layanan OTT. Maraknya kasus penipuan digital melalui WhatsApp, seperti pengambilalihan akun, undangan palsu, dan modus penipuan berkedok lowongan kerja menunjukkan belum adanya mekanisme akuntabilitas OTT yang memadai.

Merza mengatakan, "Korban penipuan tidak punya jalur pelaporan yang jelas karena penyedia OTT tidak memiliki kehadiran hukum langsung di Indonesia." Hal ini menjadi tantangan perlindungan masyarakat serta keamanan digital nasional.

Oleh karena itu, ATSI mengajak Kominfo membuka forum dialog dengan pelaku industri dan komunitas terkait. Tujuannya adalah menyusun strategi restrukturisasi ekosistem OTT yang komprehensif, mulai dari regulasi, kerja sama bisnis, hingga perlindungan konsumen digital.

Respons Pemerintah dan Kondisi Kajian

Sebelumnya, Direktur Strategi dan Kebijakan Infrastruktur Digital Kementerian Komunikasi dan Informatika, Denny Setiawan, menyampaikan bahwa beberapa negara seperti Uni Emirat Arab dan Arab Saudi telah menerapkan layanan VoIP premium dalam menghadapi ketidakseimbangan beban jaringan akibat OTT. Namun, Kementerian Kominfo menegaskan bahwa kajian terkait penerapan layanan internet khusus VoIP tersebut belum dibahas secara internal dan tidak menjadi agenda resmi kementerian.

Menteri Komunikasi dan Informatika Meutya Hafid menegaskan bahwa masukan dari berbagai kalangan, termasuk ATSI dan Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel), terkait penataan ekosistem digital terus diterima, tetapi belum ada keputusan resmi mengenai pembatasan layanan OTT seperti WhatsApp Call.

Dengan demikian, penataan ekosistem OTT harus dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan kepentingan antara penyedia layanan digital, operator jaringan, dan pengguna, didukung oleh regulasi yang jelas dan implementasi yang efektif. Tujuannya agar kualitas layanan internet tetap terjaga, industri telekomunikasi nasional berkelanjutan, serta perlindungan konsumen dan keamanan digital nasional dapat terjamin secara optimal.

Exit mobile version