Seorang pria asal Kenya berusia 40 tahun telah menciptakan kegemparan di dunia maya dengan klaim mengejutkan bahwa ia adalah putra sulung dari miliarder teknologi, Elon Musk. Penyataan ini muncul di tengah populernya teknologi Kecerdasan Buatan (AI), yang kini sering digunakan baik untuk menciptakan konten baru maupun memanipulasi informasi yang sudah ada. Namun, klaim tersebut dengan cepat menjadi sorotan karena banyak netizen yang menemukan berbagai ketidakakuratan fakta dan bukti visual yang mencurigakan.
Pria yang hanya dikenal sebagai aktivis kesehatan mental itu mengaku bahwa ibunya bertemu Elon Musk pada awal 1990-an ketika bekerja di sebuah hotel di Masai Mara, Kenya. Ia bahkan meminta tes DNA sebagai bukti hubungan mereka. Namun, klaim ini segera mendapat tanggapan skeptis dari pengguna media sosial. Menggunakan logika sederhana, banyak yang menyadari bahwa Elon Musk, yang kini berusia 54 tahun, baru berusia 14 tahun saat pria tersebut lahir. Keanehan ini menjadi salah satu poin utama yang menggugurkan klaim tersebut.
Lebih banyak keraguan muncul ketika peneliti media sosial melakukan analisis lebih lanjut terhadap gambar yang digunakan untuk mendukung pernyataannya. Tanpa menawarkan nama lengkap atau lokasi saat ini, foto tersebut menunjukkan sejumlah cacat visual yang sering terjadi pada gambar yang dihasilkan oleh teknologi AI. Misalnya, detail pakaian terlihat buram dan latar belakang foto tidak konsisten. Penemuan ini menarik perhatian lebih banyak pengguna, dan ternyata gambar yang sama sebelumnya viral di situs Rusia pada Maret 2024, yang dikaitkan dengan tren penggunaan AI untuk memanipulasi gambar tokoh-tokoh terkenal menjadi versi yang berbeda.
Kisah ini menjadi pengingat akan banjir konten palsu yang marak di era digital saat ini. Ketika teknologi AI semakin berkembang, kapasitas untuk membuat dan menyebarkan informasi yang tampak sah namun sebenarnya adalah rekayasa semakin meningkat. Fenomena ini muncul bersamaan dengan teori “Internet Mati”, yang mencemaskan bahwa sebagian besar konten online kini dikuasai oleh bot dan sistem otomatis, mengaburkan batas antara fakta dan fiksi.
Meskipun banyak yang menganggap cerita ini hanyalah lelucon semata, ada beberapa yang menyadari bahwa ini merupakan sinyal peringatan bagi masa depan digital. Terdapat kekhawatiran bahwa lebih banyak hoaks yang sulit dibedakan dari kebenaran akan muncul seiring perkembangan teknologi. “Hari ini kita tertawa, besok kita tidak tahu,” ujar seorang pengguna dengan nada sarkastis di platform media sosial X, menggambarkan perasaan campur aduk terhadap berita tersebut.
Kasus ini bisa dilihat dari berbagai perspektif. Di satu sisi, ada kecenderungan untuk berusaha memahami penggunaan AI dalam menciptakan dan mendistribusikan informasi secara kreatif. Di sisi lain, ada juga tantangan serius yang dihadapi oleh masyarakat dalam memilah antara informasi yang benar dan yang palsu. Dalam konteks ini, pengguna internet diharapkan lebih kritis dan skeptis terhadap informasi yang mereka terima, terlebih lagi ketika informasi tersebut melibatkan nama-nama besar seperti Elon Musk.
Dengan perkembangan teknologi dan kontrol yang semakin banyak dilakukan oleh AI, penting bagi kita untuk lebih waspada dalam mengonsumsi konten. Dalam dunia di mana informasi dapat dengan mudah dimanipulasi, kemampuan untuk membedakan antara yang asli dan yang tidak menjadi semakin penting. Hal ini juga menantang platform media sosial untuk berinovasi dalam menangani berita dan konten yang tidak valid, agar masyarakat tetap memiliki akses terhadap informasi yang akurat dan dapat dipercaya.
