Perang teknologi antara China dan Amerika Serikat memasuki fase baru yang signifikan dengan peluncuran mesin litografi e-beam Xizhi. Mesin ini, yang dikembangkan oleh Universitas Zhejiang, diyakini akan mengurangi ketergantungan China pada teknologi Barat, khususnya dalam industri chip, dan berpotensi menjadi senjata strategis di pasar semikonduktor global.
Xizhi menggunakan berkas elektron (e-beam) untuk melakukan pengukuran sirkuit mikro pada wafer silikon dengan akurasi sangat tinggi. Spesifikasi teknis Mesin Litografi Xizhi adalah kapasitasnya untuk menciptakan garis sirkuit selebar 8 nm dengan akurasi hingga 0,6 nm, yang telah sesuai dengan standar internasional yang berlaku. Meski kecepatan prosesnya belum sebanding dengan mesin litografi EUV (Extreme Ultraviolet) dari ASML, keberadaan Xizhi tetap menjadi terobosan yang penting bagi China.
Satu hal yang menarik, mesin ini juga jauh lebih terjangkau dibandingkan dengan mesin impor dari luar negeri. Ini membuat banyak perusahaan dan lembaga riset di China tertarik untuk mengadopsi teknologi ini dalam pengembangan chip mereka. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun ada sanksi dan embargo yang diberlakukan oleh AS, langkah inovatif ini dapat menjadi solusi bagi banyak perusahaan domestik untuk maju di bidang teknologi.
Sejak diberlakukannya embargo teknologi dari AS dan Belanda, perkembangan industri chip China mengalami hambatan signifikan. Perusahaan Belanda ASML, yang merupakan satu-satunya produsen mesin litografi EUV di dunia, dilarang menjual peralatannya ke negara tersebut. Meski begitu, mesin litografi tradisional DUV (Deep Ultraviolet) yang ada saat ini tidak mencukupi untuk teknologi chip modern. Dengan munculnya Xizhi, diharapkan China akan lebih dekat untuk menutup kesenjangan teknologi ini.
Tidak hanya mesin Xizhi yang menarik perhatian, perusahaan raksasa teknologi Huawei juga sedang dalam pengembangan mesin litografi EUV miliknya sendiri. Proyek ambisius ini diperkirakan akan memasuki fase uji coba pada tahun 2025 dan ditargetkan untuk produksi massal pada tahun 2026. Jika berhasil, kolaborasi antara Huawei dan SMIC (Semiconductor Manufacturing International Corporation) bisa menghasilkan chip-chips canggih yang mampu bersaing dengan produk dari raksasa seperti Apple dan Nvidia.
Dalam konteks yang lebih luas, pengembangan mesin litografi Xizhi dan ambisi Huawei untuk membuat mesin EUV memunculkan sinyal yang kuat bahwa China tidak hanya mampu bertahan di bawah tekanan sanksi, tetapi juga berupaya untuk berinovasi dan mencapai kemandirian teknologi. Langkah-langkah yang diambil oleh industri teknologi China mencerminkan keinginan mereka untuk meraih posisi yang lebih kuat dalam peta global industri semikonduktor.
Dominasi AS dan sekutunya di sektor ini kini menghadapi tantangan serius. Dengan kehadiran mesin litografi yang inovatif dan langkah-langkah strategis dari perusahaan-perusahaan semikonduktor, China semakin memperkuat posisinya. Ini tidak hanya akan merubah lanskap kompetisi di pasar chip global, tetapi juga dapat mempengaruhi kebijakan industri teknologi di masa mendatang.
Krisis chip yang terjadi beberapa waktu lalu telah memicu pergeseran fokus antara kedua negara. Dengan meluncurnya Xizhi dan proyek-proyek lain di sektor semikonduktor, China menunjukkan kemampuannya untuk inovatif meskipun dalam tekanan. Di saat banyak perusahaan terpaksa beradaptasi dengan perubahan global, kemajuan teknologi di China menempelkan tantangan serius bagi dominasi produk teknologi yang selama ini dipegang oleh Barat.
Dengan demikian, hasil dari inovasi ini bukan hanya lagi sekadar masalah industri, tetapi sudah menjadi isu geopolitik yang perlu dicermati. Perkembangan industri teknologi di China, terutama dalam konteks semikonduktor, patut ditunggu dan menjadi perhatian utama oleh seluruh pihak yang berkepentingan.
