Dalam dunia pendidikan, teknologi memiliki peran yang sangat penting, terutama di era digital saat ini. Di banyak negara maju, Chromebook telah menjadi pilihan utama di sekolah-sekolah, menawarkan solusi terjangkau dan efisien bagi siswa. Namun, fenomena menarik muncul di Indonesia, di mana kehadiran Chromebook justru mengekspos masalah yang lebih dalam dalam sistem pendidikan. Mengapa laptop murah ini, meskipun populer di negara-negara seperti Amerika Serikat dan Swedia, bisa dianggap menghambat pendidikan di Indonesia?
Pertama-tama, penting untuk memahami prinsip dasar dari Chromebook. Laptop ini dirancang untuk berfungsi dalam lingkungan yang sepenuhnya terhubung ke internet. Dengan sistem operasi yang mengandalkan cloud, Chromebook berfokus pada aksesibilitas dan efisiensi dalam penggunaan aplikasi online. Namun, realitas di Indonesia sangat berbeda. Menurut data dari Center of Economics and Law Studies (CELIOS), hanya sekitar 17% hingga 20% desa di Maluku dan Papua yang memiliki akses internet berkualitas baik. Di luar Jawa, tantangan tersebut semakin besar. Sementara siswa di negara maju dapat dengan mudah mengakses Wi-Fi, siswa di banyak daerah di Indonesia harus berjuang hanya untuk mendapatkan satu bar sinyal.
Kurangnya konektivitas tidak hanya menjadi penghalang dalam menggunakan Chromebook; kualitas dari layanan internet pun berperan penting. Aries Setiadi, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), menjelaskan bahwa banyak keluarga mengalami kesulitan dengan koneksi yang lambat dan tidak stabil. Dalam situasi ini, memaksa penggunaan Chromebook, yang 90% fungsinya bergantung pada koneksi internet, hanya akan membuat frustrasi lebih dalam. Proses belajar yang seharusnya efisien dapat menjadi beban ketika perangkat yang dipilih tidak sesuai dengan kondisi yang ada.
Selanjutnya, kita harus mempertimbangkan argumen utama pengguna Chromebook, yaitu harganya yang terjangkau. Di pasar global, harga laptop ini berkisar antara USD100–USD200 atau setara dengan Rp 1,5 juta – Rp 3 juta. Akan tetapi, bagi banyak keluarga di Indonesia, angka ini bukanlah sesuatu yang semudah itu untuk dicapai. Dalam banyak kasus, sebuah laptop Chrombeook bisa jadi adalah representasi dari pendapatan bulanan sebuah keluarga. Ketika harus memilih perangkat yang dapat digunakan, prioritasi biasanya beralih ke fungsionalitas.
Laptop Windows bekas atau model entry-level, meskipun lebih lambat, sering kali lebih bermanfaat di lingkungan yang tidak mendukung konektivitas yang baik. Penggunaannya memungkinkan penyimpanan data secara lokal, penginstalan aplikasi, dan kemampuan untuk bekerja meskipun tanpa jaringan internet. Di sinilah letak ironi keberadaan Chromebook sebagai solusi murah yang tidak selalu memberikan nilai guna di tempat di mana konektivitas menjadi tantangan besar.
Di tengah situasi ini, Chromebook yang dirancang untuk ekosistem dengan jaringan yang stabil dan daya beli yang tinggi, tampaknya lebih menjadi simbol dari ketidaksetaraan digital yang menyiksa. Tanpa infrastruktur internet yang memadai dan dukungan teknis yang mudah dijangkau, memaksakan adopsi Chromebook di Indonesia bisa menciptakan ketimpangan yang lebih dalam dalam akses pendidikan.
Sebagai langkah ke depan, penting bagi pemangku kepentingan di bidang pendidikan untuk mengevaluasi dengan cermat kebijakan teknologi yang diambil. Sekolah-sekolah di Indonesia tidak hanya perlu mempertimbangkan harga perangkat, tetapi juga memikirkan konteks realitas lokal yang dihadapi siswa. Menciptakan solusi teknologi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di lapangan adalah kunci untuk memberdayakan pendidikan di seluruh Indonesia.
Jika tidak, keberadaan Chromebook bukan sekadar alat bantu pendidikan, melainkan bisa menjadi pengingat pahit dari tantangan yang ternyata masih jauh dari kata selesai—membutuhkan lebih dari sekadar perangkat murah untuk membuka pintu menuju pendidikan yang lebih baik.
