Seiring dengan semakin berkembangnya kecerdasan buatan (AI), isu keamanan dan etika pengembangannya telah menjadi perhatian masyarakat global. Ratusan tokoh terkemuka di dunia, mencakup ilmuwan, mantan pejabat militer, seniman, hingga anggota keluarga kerajaan, telah meluncurkan pernyataan kolosal yang menyerukan untuk menangguhkan pengembangan AI superintelligence, yang dianggap berpotensi mengancam keberadaan manusia.
Inisiatif ini, yang diprakarsai oleh Future of Life Institute (FLI), meminta agar semua upaya pengembangan AI canggih dihentikan sampai ada konsensus ilmiah yang jelas mengenai keamanan dan kendali teknologi tersebut. Dalam dokumen tersebut, lebih dari 800 individu terkemuka, termasuk pakar AI Geoffrey Hinton dan Pangeran Harry serta Meghan Markle, menandatangani pernyataan yang menekankan pentingnya kehati-hatian dalam pengembangan AI.
Kekhawatiran banyak pihak terfokus pada dampak transformasional yang dapat diberikan AI pada struktur ekonomi dan budaya global. Dalam pandangan ini, AI tidak hanya memberikan kemudahan tetapi juga membawa potensi risiko yang signifikan. “Sistem AI yang lebih mutakhir dapat melampaui kemampuan kognitif manusia dalam hitungan tahun. Walaupun kemajuan ini menawarkan solusi untuk tantangan global, risikonya juga harus menjadi perhatian utama,” ungkap Yoshua Bengio, Profesor di Universitas Montreal.
Pada perspektif lain, perusahaan-perusahaan teknologi raksasa seperti OpenAI, Google, dan Meta terus berinvestasi miliaran dolar untuk meningkatkan model AI mereka. Kebangkitan ini menyebabkan adanya kecemasan bahwa perkembangan AI berlangsung lebih cepat daripada pemahaman dan kontrol masyarakat. Menurut Anthony Aguirre, Direktur Eksekutif FLI, arah pengembangan AI seharusnya tidak ditentukan oleh perusahaan besar saja, melainkan juga harus melibatkan pilihan publik.
Aguirre mendorong untuk adanya lebih banyak diskusi publik dan kebijakan yang konkret dalam pengaturan perkembangan AI. Ia menyoroti perlunya membuat perjanjian internasional serupa dengan kesepakatan global terkait senjata nuklir dan teknologi berbahaya lainnya. “Publik sebenarnya tidak menginginkan perlombaan ini. Sudah saatnya kita berhenti sejenak dan memutuskan bersama ke mana arah teknologi ini akan dibawa,” katanya.
Munculnya seruan ini merupakan respon dari prediksi bahwa AI dapat mengubah seluk beluk kehidupan manusia secara drastis, mulai dari pekerjaan hingga interaksi sosial. Misalnya, semakin banyak sektor yang menggunakan AI untuk otomatisasi, ada kekhawatiran bahwa banyak pekerjaan manusia akan tergantikan, dan ini dapat menyebabkan ketidakstabilan sosial dan ekonomi.
Daftar panjang desakan untuk memperlambat laju pengembangan AI semakin menumpuk, menandakan bahwa banyak pihak merasa urgensi sikap hati-hati dalam menghadapi inovasi teknologi ini. Kementerian, lembaga penelitian, dan universitas di berbagai negara juga mulai mengkaji kembali kebijakan dan regulasi terkait AI untuk memastikan pengembangan yang aman dan bertanggung jawab.
Sebagai bagian dari inisiatif ini, beberapa tokoh mendorong agar masyarakat lebih terlibat dalam pembicaraan mengenai masa depan teknologi. Hal ini bertujuan untuk menciptakan transparansi dan akuntabilitas dalam pengambilan keputusan terkait penggunaan AI.
Dengan panggilan untuk peningkatan kesadaran dan peraturan yang lebih ketat, masa depan pengembangan AI akan sangat bergantung pada bagaimana masyarakat dan pemimpin dunia merespons tantangan ini. Sebuah dialog terbuka yang inklusif diharapkan mampu menjembatani kesenjangan antara inovasi teknologi dan tanggung jawab etis untuk melindungi kemanusiaan di era digital ini.
Source: ototekno.okezone.com
