Penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam aplikasi FotoYu yang menghubungkan fotografer dengan subjek foto di ruang publik tengah mendapat sorotan dari para ahli IT dan keamanan siber. Ahli menekankan risiko etika dan hukum, terutama terkait izin pengambilan foto, perlindungan data biometrik wajah, serta potensi kebocoran dan penyalahgunaan data pribadi yang bisa terjadi dari penggunaan AI pengenalan wajah dan lokasi.
Fitur AI dalam FotoYu dan Kontroversi Izin Pengambilan Foto
FotoYu merupakan platform marketplace foto yang berbasis di Indonesia, memungkinkan kreator atau fotografer mengunggah foto yang kemudian dapat dicari oleh subjek dalam foto atau disebut yuser menggunakan modul AI bernama RoboYu. RoboYu menggunakan teknologi pengenalan wajah (face recognition) dan analisis data lokasi untuk mendeteksi foto yang memuat yuser. Pengguna lalu diminta mengonfirmasi apakah foto tersebut benar dirinya sebelum dapat membeli atau mengunduh versi tanpa watermark.
Menurut Pratama Persadha, peneliti di Communication Information System Security Research Center (CISSReC), fitur yang mampu mengenali wajah seseorang tanpa persetujuan secara eksplisit dari individu yang difoto ini menimbulkan persoalan etika dan hukum serius, terutama terkait perlindungan data pribadi di Indonesia. "Penggunaan data biometrik tanpa izin bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP)," ujar Pratama.
Hal ini karena wajah adalah data pribadi spesifik yang dapat mengidentifikasi seseorang secara unik. Jika pengumpulan dan pemrosesan data biometrik ini dilakukan tanpa izin, maka dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hukum dengan risiko sanksi administratif hingga pidana.
Bahaya Kebocoran Data Wajah dan Potensi Penyalahgunaan
Dari sisi keamanan siber, Alfons Tanujaya, Spesialis Keamanan Teknologi dari Vaksincom, mengingatkan bahaya kebocoran data biometrik yang jauh lebih rentan dibanding data lain seperti email atau nomor telepon. Jika data wajah bocor, dampaknya tidak bisa diperbaiki karena wajah adalah identitas biologis yang tidak bisa diganti.
Risiko lainnya adalah penyalahgunaan data wajah oleh pihak ketiga, seperti untuk pengenalan wajah massal tanpa izin, kepentingan komersial, ataupun pembuatan konten deepfake yang dapat merusak reputasi individu.
Dalam konteks sosial, fenomena ini turut menimbulkan ketidaknyamanan dan rasa diawasi bagi masyarakat di ruang publik karena aktivitas mereka seolah-olah dapat selalu direkam dan dianalisis tanpa kendali.
Tanggung Jawab Fotografer dan Potensi Pelanggaran UU PDP
Direktur Eksekutif ICT Institute, Heru Sutadi, juga memandang bahwa fotografer memiliki tanggung jawab hukum dan etika terkait izin pengambilan gambar. Ia menegaskan bahwa di banyak negara fotografer biasanya mengambil foto seseorang yang sudah memberikan persetujuan terlebih dahulu.
Pratama menambahkan bahwa hak cipta foto tidak menghapus hak privasi subjek yang ada di dalamnya. Fotografer yang mengunggah foto tanpa persetujuan dapat dikenai sanksi berdasarkan UU PDP, termasuk denda miliaran rupiah dan ancaman hukuman pidana. Pelanggaran seperti penyebaran foto untuk tujuan komersial tanpa izin dapat diancam pidana penjara maksimum lima tahun dan denda hingga Rp5 miliar.
Peran Kementerian Komunikasi dan Digital
Dalam menghadapi tren pemanfaatan AI untuk pengenalan dan penyebaran foto di ruang publik, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) diharapkan melakukan pengawasan ketat terhadap platform yang mengumpulkan data biometrik. Alexander Sabar, Direktur Jenderal Pengawasan Ruang Digital Komdigi, menegaskan bahwa setiap aktivitas pengambilan dan publikasi foto harus memperhatikan aspek hukum dan etika perlindungan data pribadi.
Alexander menyampaikan bahwa pemrosesan data pribadi harus dilandasi izin atau dasar hukum jelas, serta fotografer wajib menghormati hak cipta dan hak citra diri. Masyarakat juga memiliki hak menuntut pelanggaran UU PDP dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Komdigi merencanakan mengundang asosiasi fotografer dan penyelenggara sistem elektronik untuk memperkuat pemahaman kewajiban hukum dan etika di era digital.
Proteksi Data dan Teknologi Penyaringan di FotoYu
FotoYu mengklaim telah menerapkan beberapa teknologi keamanan tinggi untuk perlindungan data. Data biometrik wajah dan lokasi dienkripsi oleh RoboYu dan hanya dapat diakses oleh pengguna terkait serta segelintir engineer tingkat atas untuk pemeliharaan.
Proses Know Your Customer (KYC) dan verifikasi identitas dengan teknologi AI anti-spoofing dan liveness detection dimaksudkan untuk memastikan pengguna benar-benar pemilik data biometrik yang digunakan, serta mencegah pencurian identitas dan pengguna ganda.
Selain itu, metadata foto yang berisi data lokasi pengambilan digunakan untuk mencocokkan lokasi perangkat pengguna dengan lokasi kamera, membangun lapisan keamanan tambahan terhadap manipulasi foto ataupun penyalahgunaan data identifikasi.
Kekhawatiran Masyarakat dan Respons di Media Sosial
Viralnya aplikasi FotoYu di media sosial disertai beragam reaksi protes dari pengguna yang mengkhawatirkan pelanggaran privasi dan alasan etis pengambilan foto tanpa izin yang dapat menyebabkan rasa tidak nyaman di ruang publik. Stakeholder keamanan dan perlindungan data terus mendorong agar regulasi serta pengawasan lebih diperketat, demi menjaga hak dan keamanan warga di era digital yang semakin kompleks.
Wabah kekhawatiran ini menegaskan bahwa kemajuan teknologi, khususnya AI, harus diimbangi dengan penguatan sistem hukum dan kesadaran etika dalam pengelolaan data pribadi agar hak individu tetap terlindungi secara optimal.
Source: katadata.co.id
