Komdigi Kaji Atur Influencer Wajib Punya Sertifikasi Mirip Cina

Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) tengah mengkaji kemungkinan penerapan kebijakan serupa dengan Cina yang mewajibkan influencer memiliki sertifikasi khusus untuk membuat konten, terutama pada topik yang sensitif seperti kedokteran, keuangan, dan hukum. Kebijakan ini menjadi perhatian karena dinilai bisa menjadi salah satu langkah menyempurnakan tata kelola konten digital di Indonesia agar menghindari penyebaran misinformasi tanpa membatasi kebebasan berkreasi.

Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Komdigi, Bonifasius Wahyu Pudjianto, menyampaikan bahwa pihaknya saat ini masih melakukan diskusi dan analisis internal terkait isu tersebut. “Informasi ini masih baru. Kami kaji dulu memang. Kami ada grup WhatsApp, dan sedang membahas bagaimana isu ini? Ada negara sudah mengeluarkan kebijakan baru, ini masih kami kaji,” ungkapnya kepada media di Kantor Kementerian Komdigi, Jakarta, Jumat (31/10).

Menurut Bonifasius, Indonesia memang perlu belajar dari beberapa negara yang selama ini telah menetapkan aturan untuk menjaga ekosistem digital. Contohnya ialah kebijakan Australia yang membatasi penggunaan media sosial pada anak di bawah umur, yang menjadi dasar penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan Anak (PP Tunas).

Pembelajaran dari Kebijakan Cina

Di Cina, sejumlah badan pemerintah seperti Komisi Kesehatan Nasional (NHC), Komisi Pengaturan Siber (CAC), dan Administrasi Negara untuk Regulasi Pasar (SAMR) sudah menetapkan regulasi ketat terhadap influencer yang membuat konten di bidang kedokteran. Peraturan yang mulai berlaku Oktober 2024 ini mewajibkan setiap konten ilmiah kedokteran yang diunggah akun media sosial harus melalui proses sertifikasi dan verifikasi ketat.

Beberapa poin penting dalam regulasi ini antara lain:

  1. Kategorisasi dan Verifikasi Akun: Akun influencer medis harus dikualifikasi secara jelas, sesuai peran dan latar belakang seperti dokter, perawat, peneliti, atau akademisi. Pengelola platform diwajibkan memverifikasi kualifikasi ini dengan dokumen resmi.

  2. Transparansi Informasi Akun: Informasi sertifikasi dan latar belakang profesional influencer kesehatan harus tampil jelas di halaman utama akun agar pengguna dapat menilai kredibilitas konten.

  3. Pencegahan Sertifikasi Palsu: Proses verifikasi dilakukan secara ketat dengan dukungan data resmi dari lembaga pemerintah, dan akun yang tidak memenuhi syarat dilarang mempublikasikan konten kedokteran.

  4. Norma Perilaku dan Sanksi: Platform didorong untuk mengelola perilaku daring dengan ketat, menindak influencer yang melanggar dan mencegah adanya iklan terselubung dalam konten kesehatan. Akun yang melakukan pelanggaran dapat diblokir hingga dihapus.

  5. Pengelolaan Konten Sintetis dan AI: Setiap konten hasil rekayasa medis atau yang menggunakan teknologi AI harus diberi label khusus untuk menjaga kejelasan sumber informasi.

Potensi Adaptasi di Indonesia

Bonifasius menekankan bahwa pemerintah Indonesia masih membuka ruang dialog dan masukan dari berbagai stakeholder sebelum mengambil keputusan. “Kami harus mendengar masukan. Kalau perlu diterapkan, oke, tapi bagaimana bentuknya? Apakah harus ada pengelompokan sesuai cakupan keahlian dan fungsi, serta siapa saja yang perlu disertifikasi?” katanya.

Ia juga menyatakan perlunya menetapkan tingkat pengawasan yang proporsional, mengingat jumlah kreator konten yang sangat banyak dan beragam. Pemerintah ingin menjaga keseimbangan antara kompetensi dan kebebasan berkreasi di ruang digital. Regulasi seperti sertifikasi ini diharapkan dapat mengurangi praktik penyebaran konten yang salah atau menyesatkan, khususnya dalam tema-tema sensitif yang berdampak luas.

Peran Platform dan Kendala Penerapan

Seiring dengan regulasi yang mengatur sertifikasi influencer di Cina dan Australia, platform media sosial ikut bertanggung jawab dalam proses verifikasi serta pengelolaan akunnya. Di Cina, platform seperti Douyin (TikTok versi Cina), Weibo, dan Bilibili diwajibkan memperkuat mekanisme verifikasi kualifikasi dan memantau konten secara ketat. Akun-akun yang bermasalah secara berulang dimasukkan dalam ‘daftar hitam’ dan diberi sanksi hukum.

Di Indonesia, hal ini juga menjadi perhatian Komdigi, terutama untuk mengatur di mana batas antara pengaturan yang membangun dan pengendalian yang berlebihan. Jika aturan penerapan sertifikasi nantinya dilakukan, maka diperlukan mekanisme dan skala prioritas yang jelas serta peran serta platform yang aktif agar implementasinya efektif.

Pengaturan yang Lebih Luas

Selain influencer di bidang kedokteran, di Cina aturan serupa juga diterapkan untuk influencer yang membahas keuangan dan sumber informasi penting lainnya. Aturan mengharuskan mereka menampilkan identitas asli dan memiliki kualifikasi profesi yang relevan.

Dengan terus berkembangnya konten digital, tantangan pengaturan ruang siber menjadi sangat krusial. Komdigi berkomitmen untuk terus memantau perkembangan regulasi di dunia dan membuka dialog dengan para pelaku industri serta masyarakat untuk menciptakan ekosistem digital yang sehat dan berkualitas di Indonesia.

Source: katadata.co.id

Exit mobile version