Rancangan APBN 2026 Dinilai Sentralistik: Temukan Alasannya di Sini!

Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026 tengah menjadi sorotan, dengan banyak pihak menilai bahwa kebijakan ini semakin memperkuat sentralisasi fiskal. Kenaikan belanja pemerintah pusat yang mencapai 16,1% menjadi salah satu indikator jelas dari tren ini. Hal ini berkebalikan dengan penurunan drastis dana transfer daerah yang mencapai 29,3% jika dibandingkan dengan APBN 2025. Kondisi ini mengindikasikan bahwa anggaran semakin banyak dikuasai oleh pemerintah pusat, mengesampingkan peran serta daerah.

Bhima Yudhistira Adhinegara, Direktur Eksekutif CELIOS, mengungkapkan keprihatinannya terkait kebijakan ini. “Sentralisasi anggaran semacam ini berisiko membuat ruang fiskal pemerintah daerah semakin sempit. Kejadian di Pati, yang terpaksa menaikkan pajak daerah, bisa jadi justru melebarkan dampak negatif di seluruh Indonesia pada 2026,” ungkapnya. Ia menambahkan, dengan anggaran yang ditarik kembali ke pusat, pemerintah daerah akan merespons dengan cara instan, yakni menaikkan tarif pajak dan retribusi, yang berpotensi memberatkan masyarakat, terutama rumah tangga dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).

Selanjutnya, efisiensi anggaran yang masih terus berlangsung menunjukkan bahwa APBN 2026 belum mampu berfungsi sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi. Terlebih, beban utang yang semakin meningkat dan belanja bunga yang melonjak hingga 227% dalam dekade terakhir mempersulit situasi. “Kita perlu solusi yang lebih inovatif, bukan efisiensi yang berlebihan. Ini termasuk renegosiasi utang dan membawa penerimaan pajak yang lebih kreatif,” sarannya.

Anomali Belanja Pemerintah

Salah satu kritik yang lebih jauh menyangkut alokasi anggaran adalah besarnya pos "belanja lainnya," yang mencapai Rp 488,8 triliun, meningkat 50,4% dibanding APBN 2025. Biaya ini menjadi tantangan baru bagi transparansi anggaran, terutama terkait proyek ketahanan pangan dan program Makan Bergizi Gratis (MBG). “Mengapa tidak dialokasikan pada pos yang sudah ada? Tindakan ini menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi dan akuntabilitas pemerintah,” tegas Bhima.

Di sisi lain, alokasi anggaran untuk perlindungan lingkungan hidup sangat minim, hanya Rp 13,4 triliun atau mengalami penurunan 4,6% dalam lima tahun terakhir. “Ini menunjukkan bahwa pemerintah belum cukup serius menangani isu perlindungan lingkungan di tengah krisis iklim,” katanya lebih lanjut.

Satu lagi yang mencolok adalah peningkatan alokasi untuk sektor pertahanan hingga 36,7%, jauh melampaui pertumbuhan anggaran untuk pelayanan umum yang hanya tumbuh 8,6%. Ini berpotensi mengurangi dampak positif APBN pada ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. “Kita butuh dukungan yang lebih besar untuk industri padat karya, yang justru terlupakan,” ujar Bhima, mencatat bahwa pengalokasian anggaran yang tidak efisien dapat menjadi biang kerok bagi praktik korupsi.

Penerimaan Pajak yang Mengkhawatirkan

Penerimaan pajak juga diproyeksikan naik secara signifikan di tengah basis pajak yang stagnan. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa pemerintah hanya akan berupaya meningkatkan tarif pajak tanpa inovasi yang berkelanjutan. Bhima menekankan pentingnya implementasi pajak karbon dan pajak kekayaan sebagai langkah progresif untuk meningkatkan pendapatan. “Tanpa inovasi baru, rasio pajak terhadap PDB sulit untuk mencapai target yang realistis, dan kita mungkin akan menghadapi shortfall di tahun 2026,” pungkasnya.

Dengan semua isu ini, Rancangan APBN 2026 berpotensi menghadapi banyak tantangan. Masyarakat dan pemangku kepentingan harus tetap mengawasi dan mendesak adanya kebijakan yang lebih inklusif dan transparan.

Exit mobile version