Kehati-hatian dalam memilih mitra kerja sama operasi (KSO) dalam pengelolaan kebun sawit sitaan negara menjadi sangat penting. Pelibatan mitra yang tidak kompeten berpotensi mengganggu produktivitas sawit nasional dan memengaruhi program strategis pemerintah terkait pemenuhan kebutuhan biodiesel. Hal ini ditegaskan oleh Dr. Sadino, pakar hukum kehutanan, yang menekankan bahwa pemilihan mitra harus berbasis pada pemahaman mendalam mengenai tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan.
Sadino menyebutkan bahwa keberhasilan pengelolaan kebun sawit tidak hanya bergantung pada panen Tandan Buah Segar (TBS) yang tinggi, tetapi juga pada perawatan yang ketat untuk menjaga kesehatan kebun. Ia memperingatkan bahwa jika operator KSO hanya fokus pada panen, dampak jangka panjangnya dapat serius, termasuk penurunan produktivitas. “TBS yang baik hanya bisa dihasilkan dari penerapan agronomi yang benar pada setiap tahap,” katanya.
Keputusan strategis pemerintah untuk menguasai kembali 3,1 juta hektar lahan sawit dari total 3,7 juta hektar yang dinilai melanggar aturan mengindikasikan adanya pengawasan yang lebih ketat dalam pengelolaan sumber daya alam ini. Penertiban lahan dilakukan melalui Peraturan Presiden No 5 Tahun 2025, yang memberikan mandat kepada PT Agrinas Palma Nusantara (BUMN) untuk mengelola lahan-lahan tersebut.
Sadino juga menyoroti bahwa investasi dalam sektor sawit berbeda dari sektor tambang, terutama karena sebagian besar kebun saat ini berada dalam masa peremajaan (replanting). “Biaya yang dibutuhkan untuk peremajaan tidak sedikit, sehingga jaminan kepastian usaha dan lahan sangat krusial,” imbuhnya. Kesalahan dalam pengelolaan juga dapat mengancam program biodiesel yang menjadi salah satu fokus pemerintah.
Mengenai pembagian hasil dalam skema KSO, ada kabar yang menyatakan bahwa dibagi 40:60, di mana 40 persen untuk Agrinas dan 60 persen untuk mitra. Namun, Sadino menyatakan bahwa pembagian ini harus melalui kajian yang mendalam dan mempertimbangkan kompleksitas pengelolaan kebun. “Jika hanya mengandalkan panen TBS, pembagian ini mungkin berlaku. Namun, dalam konteks perawatan dan infrastruktur yang lebih rumit, tidak semua kebun memiliki kondisi yang sama,” tuturnya.
Pengelolaan kebun sawit yang baik tidak hanya berguna untuk menghasilkan produk tetapi juga memastikan keberlanjutan sumber daya alam. Ia menekankan perlunya kajian mendalam untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan antara Agrinas dan mitra KSO. Jika mitra hanya mengejar TBS tanpa memperhatikan perawatan, ini dapat merugikan produktivitas, dan berdampak buruk pada pasokan untuk biodiesel.
Pentingnya transparansi dalam kemitraan juga ditekankan oleh pejabat PT Agrinas Palma Nusantara. Direktur Utama Agus Sutomo menekankan bahwa pengelolaan kebun harus dilakukan secara profesional dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Ia menjelaskan bahwa meskipun agrikultur memiliki tantangan tersendiri, komitmen dan efisiensi harus tetap menjadi prioritas, termasuk mengganti mitra KSO yang tidak menunjukkan komitmen.
Okky Suryono, Senior Executive Vice President Corporate Secretary & ESG Agrinas, menjelaskan semua kemitraan KSO dilakukan langsung antara Agrinas dan calon mitra, tanpa melibatkan pihak ketiga. Ini mencerminkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik dan transparansi, menunjukkan bahwa Agrinas terbuka untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk koperasi dan pelaku UMKM.
Dengan kondisi hukum lahan sitaan yang masih perlu diselesaikan, Sadino berpendapat bahwa hal ini menjadi hambatan besar bagi investor untuk berinvestasi. Ketidakpastian ini bisa mengurangi kepercayaan mitra dalam menanamkan modal. Ia berharap agar pemerintah segera menuntaskan status hukum tersebut, sehingga pengelolaan kebun sawit dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan. Status yang jelas dapat memberikan rasa aman bagi mitra dan juga masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan sumber daya ini.
