Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menghadapi tantangan serius setelah Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyatakan adanya dugaan praktik kartel terkait bunga pinjaman daring (pindar). Kasus ini mencuat setelah KPPU menganggap bahwa terdapat kesepakatan mafia di antara platform-platform pinjaman untuk menetapkan bunga yang tidak wajar. Namun, AFPI dengan tegas menolak tuduhan tersebut dan menjelaskan fakta sebenarnya.
Dalam sebuah konferensi pers yang digelar di Jakarta, Ketua Bidang Hubungan Masyarakat AFPI, Kuseryansyah, menegaskan bahwa tidak pernah terdapat kesepakatan tertulis mengenai batas maksimum bunga pinjaman yang ditetapkan secara kolektif oleh anggota AFPI selama periode 2018 hingga 2023. Ia menambahkan bahwa Surat Keputusan (SK) Code of Conduct yang menjadi bahan bukti KPPU sudah tidak berlaku sejak 8 November 2023, ketika Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menerbitkan SEOJK 19-SEOJK.06-2023.
Kuseryansyah menjelaskan bahwa batas maksimum bunga pinjaman tersebut dibutuhkan untuk melindungi konsumen dari praktik pinjaman online ilegal yang sering kali mengenakan bunga tinggi. “Kami mencabut Code of Conduct dan sepenuhnya patuh pada regulasi untuk mencegah praktik predatory lending serta melindungi konsumen,” jelasnya.
Data terbaru dari OJK menunjukkan bahwa pada tahun 2024, jumlah platform pinjaman online ilegal mencapai 3.240, jauh lebih banyak dibandingkan dengan 97 platform resmi. Hal ini menunjukkan tantangan besar yang dihadapi industri pinjaman untuk melindungi masyarakat dari penawaran yang merugikan. “Penyebaran pinjol ilegal yang masif ini memaksa pelaku usaha berizin untuk menciptakan mekanisme perlindungan konsumen,” tambah Kuseryansyah.
Dari sisi akademis, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha FHUI, Ditha Wiradiputra, juga memberikan pandangannya. Ia menyatakan tidak ada indikasi kesepakatan harga di antara platform pindar. Menurutnya, tujuan utama dari kesepakatan harga biasanya untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin. Namun, dalam kasus ini, justru ada tendensi untuk menurunkan batas manfaat ekonomi. Ditha mempertanyakan, “Apakah benar ada keuntungan lebih besar yang diperoleh platform Pindar?”
Lebih lanjut, Ditha mengkritik penyebutan istilah kartel dalam konteks ini. Menurutnya, dugaan ini tidak bisa disebut sebagai kartel jika melihat konteks hukum yang ada. “Tuduhan KPPU didasarkan pada Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, yang mengatur tentang kesepakatan harga. Hal ini berbeda dengan pengaturan di Pasal 11 yang mengatur tentang persekongkolan. Ada mispersepsi yang perlu diluruskan,” ujarnya.
Sidang dugaan kartel bunga pinjaman daring ini juga telah dibuka oleh KPPU untuk mendengarkan bukti serta argumen dari kedua belah pihak. Investigator KPPU, Arnold Sihombing, menjelaskan bahwa mereka berupaya untuk menemukan bukti lebih lanjut terkait kesepakatan penetapan harga bunga pinjaman. Arnold merujuk pada SK AFPI tahun 2020 dan 2021 yang menurutnya sebagai pedoman perilaku di antara anggota.
Kasus ini menjadi perhatian publik karena menyangkut perlindungan konsumen dalam industri yang sedang berkembang pesat. Masyarakat diharapakan dapat tetap kritis terhadap tawaran pinjaman, baik dari platform resmi maupun ilegal. “Perlindungan konsumen harus menjadi prioritas utama. Kami berkomitmen untuk memastikan bahwa semua platform beroperasi sesuai dengan regulasi yang ada untuk menjaga kepercayaan masyarakat,” tutup Kuseryansyah.
Dengan situasi yang terus berkembang ini, perhatian publik terhadap industri fintech dan praktik pinjaman online semakin meningkat. Namun, jelas bahwa AFPI berusaha melakukan langkah-langkah untuk menjelaskan posisi mereka dan memastikan transparansi dalam operasi pinjaman daring.
