Bank Indonesia (BI) baru saja mengumumkan pemangkasan BI-Rate sebesar 25 basis poin menjadi 4,75%. Langkah ini dianggap sebagai strategi untuk menyelaraskan kebijakan moneter dengan kebijakan fiskal pemerintah demi mempercepat pemulihan ekonomi yang tertekan akibat pandemi. Efek dari penurunan suku bunga ini diharapkan bisa mendorong permintaan domestik dan memberi dorongan bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Ekonom Syafruddin Karimi menilai bahwa keputusan ini merupakan bagian dari siklus pelonggaran yang dimulai sejak September 2024. “Ini adalah pemangkasan keenam, dan sinyal konsisten bahwa otoritas moneter memilih untuk menstimulasi permintaan saat inflasi terjaga,” jelasnya dalam rilis yang diterima. Menurutnya, kebijakan ini tidak hanya berfungsi untuk menurunkan biaya dana bagi perbankan, tetapi juga untuk memastikan bahwa likuiditas dapat mendorong sektor riil.
Sebagai bentuk sinergi antara kebijakan moneter dan fiskal, pemerintah melalui Kementerian Keuangan mengalokasikan dana sebesar Rp200 triliun untuk ditempatkan di bank-bank milik negara (BUMN). Langkah ini bertujuan untuk memperkuat likuiditas perbankan sehingga kredit kepada sektor riil dapat meningkat. Syafruddin mengungkapkan, “Moneter mengurangi harga uang; fiskal memastikan amunisi benar-benar masuk ke sektor riil.”
Bila perbankan merespons dengan menurunkan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK), ini akan langsung berdampak pada biaya pinjaman bagi usaha dan rumah tangga. Penurunan biaya pinjaman diharapkan dapat memicu peningkatan konsumsi dan investasi, yang pada gilirannya mempercepat pertumbuhan ekonomi. Namun, untuk mencapai hal ini, Syafruddin menekankan pentingnya komitmen dari perbankan.
Ia menyarankan agar pemerintah dan BI menetapkan target pembiayaan spesifik untuk sektor-sektor strategis, seperti perumahan rakyat, manufaktur padat karya, agro, dan logistik. “Agar transmisi berjalan optimal, kami perlu mengikat komitmen bank dengan target pembiayaan sektoral,” ujarnya.
Tidak kalah penting, pengawasan yang ketat juga disarankan sebagai langkah preventif untuk memastikan dana digunakan untuk sektor produktif dan bukan untuk spekulasi. Syafruddin mengingatkan agar kualitas kredit tetap terjaga saat ekspansi berlangsung dan aliran likuiditas diarahkan untuk meningkatkan produksi, bukan spekulasi portofolio.
Dengan adanya kebijakan terpadu antara BI dan Kementerian Keuangan, harapan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan menjadi semakin realistis. Semua pihak diharapkan dapat berkontribusi untuk menjaga stabilitas ekonomi, di tengah tantangan yang masih ada.
Geliat ekonom Indonesia ke depan tergantung pada respons perbankan terhadap kebijakan ini, terutama dengan penempatan dana Rp200 triliun. Dengan modal yang tepat dan penggunaan yang akuntabel, pemulihan ekonomi tak hanya dapat tercapai, tetapi juga berkelanjutan. Diharapkan, semua sektor dapat mendapatkan manfaat yang merata dari kebijakan ini, sehingga pertumbuhan menjadi inklusif dan memberikan dampak positif pada masyarakat luas.
