Produksi padi Indonesia mengalami tantangan serius yang berujung pada ketertinggalan dibandingkan negara tetangga, Vietnam. Data terbaru menunjukkan bahwa rata-rata produktivitas padi nasional hanya mencapai 5,2 ton per hektar, sementara Vietnam mencatatkan angka yang lebih tinggi, yaitu 6,1 ton per hektar. Ketergantungan yang tinggi pada pupuk kimia menjadi salah satu faktor utama yang mengombang-ambingkan keberlanjutan pertanian di Tanah Air.
Ketergantungan ini menyebabkan kerusakan pada 60% lahan pertanian, dengan banyak petani, terutama yang berusia di atas 50 tahun, mengalami kesulitan dalam mengelola lahan mereka. H. Suroto Zaffirt, pemilik PT Berniaga Gemilang Nusantara (BGN), menggarisbawahi keprihatinan tersebut dengan menyatakan bahwa inisiatif di sektor pertanian harus beradaptasi dengan tantangan zaman.
Program BGN Agripreneur yang baru diluncurkan bertujuan untuk menciptakan generasi baru wirausahawan pertanian yang memanfaatkan teknologi digital. Inisiatif ini diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan petani, yang saat ini cenderung rendah, dan juga menarik minat generasi muda untuk berkarir di sektor pertanian. “Kami ingin mengubah tantangan tersebut menjadi peluang ekonomi yang berkelanjutan,” kata Suroto.
Penting untuk dicatat bahwa pasar produk organik global memiliki potensi yang sangat besar, diproyeksikan akan mencapai Rp11.200 triliun pada tahun 2032. Namun, kebutuhan pasar domestik Indonesia yang senilai Rp2.400 triliun masih jauh dari terisi. Suripto, penasihat program BGN Agripreneur, menjelaskan bahwa mengalihkan fokus ke produksi organik bisa menjadi kunci untuk meningkatkan produktivitas dan keberlanjutan.
Kendati ada banyak tantangan, terdapat beberapa petani yang mengadopsi metode bernilai tambah, salah satunya melalui penggunaan pupuk organik. Pupuk organik Mustika Tani yang diproduksi oleh BGN telah menunjukkan efektivitasnya dalam meningkatkan kualitas panen serta mengurangi biaya. Seperti dirasakan oleh Pak Edi, seorang petani tebu di Malang, yang mengklaim bahwa penggunaan pupuk ini menyebabkan panennya memiliki kadar gula tinggi lebih cepat dari yang diharapkan.
“Saat baru berusia enam bulan, kadar gula tebu saya sudah mencapai 19% brix. Hal ini biasanya baru tercapai pada usia satu tahun,” ujarnya.
Tidak hanya Pak Edi, Haji Andre, seorang eksportir sayuran yang mengelola 3.000 hektar lahan, juga memberikan testimony positif. Ia menyatakan bahwa biaya pemupukan menjadi lebih hemat dan hasil panen meningkat berkat penggunaan produk BGN. “Produk kami terbukti aman sampai ke Taiwan,” ungkapnya, memperlihatkan bahwa standardisasi pasar ekspor dapat tercapai melalui metode pertanian yang lebih berkelanjutan.
Digitalisasi juga menjadi bagian penting dari transformasi sektor pertanian. Dengan 212 juta pengguna internet di Indonesia, pasar digital saat ini merupakan peluang besar yang harus dimanfaatkan. “Ini bukan hanya soal beradaptasi, tetapi juga tentang bertahan di pasar yang semakin kompetitif,” kata Danny Ramdani, praktisi pemasaran digital.
Melihat potensi yang ada, langkah-langkah sebagai bagian dari program BGN Agripreneur bertujuan untuk meningkatkan produktivitas padi di Indonesia, yang saat ini masih kalah dari Vietnam. Melalui pendekatan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan, diharapkan padi Indonesia dapat kembali bersaing dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Meskipun tantangan masih besar, harapan adanya regenerasi dan inovasi di sektor pertanian tetap ada. Komitmen dari pihak-pihak terkait, baik pemerintah maupun perusahaan swasta, untuk menciptakan ekosistem yang mendukung dan mendorong produktivitas secara berkelanjutan sangatlah penting untuk menghadapi masa depan pertanian di Indonesia.
