Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) mendukung penuh usulan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memasukkan perusahaan reasuransi ke dalam Program Penjaminan Polis (PPP) yang dijalankan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Langkah ini diharapkan dapat membantu menyelamatkan perusahaan asuransi yang mengalami kesulitan. Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) RUU P2SK dengan Komisi XI DPR RI, Ketua Umum AAUI, Budi, menjelaskan bahwa masalah utama bukanlah pada insolvensi perusahaan asuransi, melainkan pada proses penempatan reasuransi yang selama ini kurang diperhatikan.
Budi menekankan bahwa meskipun kasus perusahaan asuransi yang insolvent jarang terjadi, penempatan reasuransi yang tidak optimal dapat menjadi sumber masalah yang mengganggu stabilitas industri. “Akar masalah di asuransi umum lebih banyak disebabkan oleh penempatan reasuransi dibandingkan insolvensi,” ujarnya. Dengan kondisi saat ini, dua dari delapan perusahaan reasuransi di Indonesia dilaporkan mengalami masalah kesehatan keuangan, yang dapat memperburuk situasi industri asuransi secara keseluruhan.
AAUI mendorong revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) agar perusahaan reasuransi dilibatkan dalam skema penjaminan. Budi menegaskan pentingnya langkah ini agar tidak terulang kembali permasalahan seperti yang pernah terjadi sebelumnya. “Perusahaan reasuransi BUMN pernah mengalami sakit, dan kita tidak ingin sejarah tersebut terulang,” katanya.
Perbandingan dengan kondisi perusahaan reasuransi di luar negeri juga menjadi sorotan Budi. Di luar negeri, perusahaan reasuransi banyak yang mencatatkan keuntungan, sedangkan di Indonesia situasinya berbeda. Hal ini menunjukkan adanya masalah struktural dalam ekosistem industri asuransi nasional. “Kondisi ini bisa jadi menandakan ada yang tidak beres dalam manajemen di level reasuransi kita,” tambahnya.
Terkait pertanyaan anggota Komisi XI DPR RI, Puteri Anetta Komarudin, mengenai urgensi program resolusi dalam penanganan perusahaan asuransi bermasalah, Budi menjawab bahwa resolusi mungkin menjadi salah satu solusi, namun tidak sepenuhnya menjawab akar masalah. Ia menegaskan bahwa keterlibatan reasuransi dalam skema penjaminan polis adalah langkah strategis ke depan.
Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, juga menjelaskan bahwa regulasi saat ini hanya mengatur soal likuidasi. “Kami mengusulkan agar program penjaminan polis tidak hanya mencakup likuidasi. Jika perusahaan asuransi dalam keadaan insolvent, harus ada kemungkinan untuk diselamatkan,” imbuhnya.
Langkah ini mendapat sambutan positif dari beberapa kalangan, mengingat masih ada banyak konsumen yang menjadi korban dari perusahaan asuransi yang bermasalah. Diharapkan, dengan penguatan regulasi dan penjaminan yang lebih baik, perlindungan terhadap konsumen bisa meningkat.
Dari delapan perusahaan reasuransi di Indonesia, satu di antaranya berbasis syariah. Namun, perhatian utama saat ini adalah untuk memastikan bahwa keseluruhan ekosistem asuransi berjalan seimbang. AAUI menilai bahwa asuransi dan reasuransi tidak dapat dipisahkan karena keduanya saling mendukung dalam menciptakan sektor yang lebih sehat dan berkelanjutan.
AAUI menegaskan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, OJK, dan seluruh stakeholder dalam industri asuransi. Implementasi kebijakan yang lebih komprehensif terkait penjaminan polis dan penyelamatan perusahaan asuransi diharapkan dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi semua pihak. Seiring dengan perkembangan industri yang semakin kompleks, langkah-langkah ini menjadi sangat mendesak untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi.
