IHSG Cetak Rekor Tertinggi di Tengah Tekanan Rupiah: Analisis Terbaru

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan kemarin, Kamis (25/9), mencatatkan rekor penutupan tertinggi dengan menguat 0,02% ke level 8.126,6. Kenaikan ini terlihat signifikan meskipun terjadi di tengah desakan terhadap nilai tukar rupiah yang terus melemah. Kepala Riset dan Chief Economist Mirae Asset, Rully Arya Wisnubroto, menyebutkan bahwa nilai tukar rupiah mencapai Rp16.676 per dolar AS, menjadi yang terendah sejak April lalu.

Kondisi ini menciptakan dampak beragam bagi pasar. Investor asing mencatatkan arus keluar dana (net outflow) sebesar Rp524,6 miliar, di mana PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) termasuk dalam daftar saham yang paling banyak dilepas asing, tercatat nilai jual asing mencapai Rp264 miliar. Hal ini menyebabkan harga saham BBCA tertoreh penurunan sebesar 1,3% ke level 7.775.

Meski IHSG berhasil mencetak rekor tertinggi, Rully mengingatkan bahwa penguatan tersebut bersifat spekulatif. "Hal ini karena tidak didukung oleh fundamental yang kuat atau kepercayaan investor yang solid," ujarnya. Menurut Rully, situasi ini mencerminkan ketidakpastian yang mendominasi pasar.

Peningkatan Risiko di Pasar

Tekanan pasar terlihat jelas melalui kenaikan Credit Default Swap (CDS) Indonesia tenor 5 tahun yang naik ke level 81,83. Peningkatan ini menggambarkan persepsi risiko yang semakin meningkat di kalangan investor. Di sisi lain, kurs rupiah mengalami depresiasi terdalam di kawasan dalam lima hari terakhir, sebesar 1,5%, lebih tinggi dibandingkan dengan nilai tukar Peso Filipina yang melemah 1,0%, Ringgit Malaysia 0,5%, dan Baht Thailand 0,8%.

Sementara itu, kondisi serupa terjadi di Filipina, dengan CDS tenor 5 tahun mencapai level 60, tertinggi sejak pertengahan Agustus dan pelemahan Peso yang menyertainya. Namun, rupiah mengalami penurunan yang lebih signifikan, menambah kekhawatiran akan kestabilan ekonomi di Indonesia.

Faktor Penyebab Tekanan Terhadap Rupiah

Kekhawatiran pasar juga mengemuka seiring dengan kebijakan fiskal yang diterapkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Rully menilai kebijakan tersebut terlalu agresif dan kurang hati-hati, yang pada gilirannya bisa memperburuk sentimen investor terhadap pasar keuangan domestik. "Sentimen negatif ini dapat berlanjut jika tidak ada langkah stabilisasi yang jelas dari pemerintah," tambahnya.

Ketidakpastian ini juga didukung oleh dinamika politik dan ekonomi global yang berpengaruh pada keputusan investasi. Investor cenderung lebih berhati-hati dalam mengambil posisi di pasar saham, terutama di tengah situasi yang menimbulkan ketidakpastian ekonomi.

Optimisme Terhadap IHSG

Meskipun dalam keadaan yang sulit, terdapat optimisme di kalangan beberapa analis bahwa IHSG bisa terus berkembang. “Kinerja IHSG menunjukkan minimnya dampak dari penurunan nilai tukar dalam jangka panjang, jika fundamental ekonomi tetap solid,” ungkap Rully.

Beberapa sektor juga menunjukkan momentum positif, meskipun di tengah tekanan yang dihadapi. Saham-saham dengan potensi pertumbuhan kuat masih menarik bagi investor, terutama dalam sektor infrastruktur dan konsumsi yang terus mendapatkan perhatian positif di pasar.

Dengan demikian, perlunya pemantauan terhadap kebijakan fiskal dan langkah-langkah pemerintah dalam mengelola kondisi ekonomi domestik menjadi krusial bagi kestabilan nilai tukar dan kepercayaan investor ke depannya. Memastikan adanya komunikasi yang transparan dan jelas dari otoritas terkait dapat membantu memperbaiki sentimen pasar dan memitigasi risiko yang ada.

Exit mobile version