Laporan keberlanjutan kini menjadi salah satu aspek yang penting bagi perusahaan dalam menjawab kebutuhan investor dan publik. Standar terbaru yang diperkenalkan dalam laporan ini berupaya memastikan bahwa data yang disajikan akurat dan berkualitas tinggi. Hal ini disampaikan dalam acara Ngulik yang diadakan oleh Indonesian Society of Sustainability Professionals (IS2P), dengan menghadirkan para pakar seperti Lany Harijanti dari Global Reporting Initiative (GRI) dan Salman Nursiwan sebagai Sustainability Expert.
Menurut Lany Harijanti, GRI Standard tetap menjadi acuan global karena proses penyusunannya yang melibatkan berbagai pihak. "Sejumlah pembaruan penting sedang berlangsung untuk memastikan laporan keberlanjutan lebih mampu menjawab tantangan terkini," ungkap Lany. Pembaruan yang dimaksud mencakup perluasan pelaporan dari "employees" ke "workers", mencakup pekerja kontrak dan yang berada di bawah kendali perusahaan.
Salah satu pembaruan utama adalah peluncuran standar baru, GRI 102, yang mewajibkan perusahaan untuk menyampaikan rencana transisi terkait isu iklim. Dalam standar ini, perusahaan diharuskan untuk menyediakan skenario adaptasi dan rincian target pengurangan emisi pada Scope 1, 2, dan 3. "Akurasi dan keterbukaan adalah kunci," tegas Lany, menyoroti risiko greenwashing apabila klaim tidak disertai bukti konkret.
Interoperabilitas dan Kolaborasi dengan IFRS
Lany juga menjelaskan pentingnya interoperabilitas antara GRI dan standar IFRS. "GRI lebih fokus pada dampak sosial dan lingkungan, sementara IFRS lebih menekankan pada materialitas finansial. Keduanya saling melengkapi untuk memenuhi kebutuhan investor dan publik," katanya. Hal ini menunjukkan bahwa penggabungan kedua standar dapat memberikan wawasan yang lebih holistik tentang kinerja perusahaan.
Salman Nursiwan juga menekankan pentingnya pembaruan standar untuk menghindari laporan keberlanjutan yang hanya menjadi formalitas. "GRI telah berkontribusi besar dengan menyediakan metrik dan metodologi yang seragam. Dengan ukuran universal, hasil laporan dapat dilacak dan dipertanggungjawabkan," tuturnya. Ia mencatat bahwa banyak perusahaan masih menetapkan target ambisius tanpa adanya baseline yang jelas, menjadikan pengukuran progres sulit dilakukan.
Isu Materialitas yang Dinamis
Salman juga menekankan bahwa isu materialitas seharusnya dilihat secara dinamis, bukan hanya berdasarkan suara mayoritas pemangku kepentingan. "Analisis risiko jangka panjang menjadi penting dalam menentukan apa yang perlu dilaporkan," ujarnya. Ia menggambarkan bahwa digitalisasi laporan dapat mempercepat umpan balik dan membuat akuntabilitas semakin kuat. Pelaporan yang lebih mutakhir juga harus memperhitungkan perspektif etika lintas generasi dan kelestarian lingkungan.
Diskusi dalam acara IS2P menunjukkan bahwa keberhasilan laporan keberlanjutan tidak hanya tergantung pada kepatuhan terhadap regulasi. Kemauan perusahaan untuk terus memperbarui praktik menjadi faktor kunci. "Standar yang diperbarui akan membantu perusahaan menghadapi isu kontemporer seperti iklim, hak pekerja, dan tata kelola. Laporan yang baik adalah alat untuk menghasilkan kepercayaan," jelas Lany.
Mendorong Akuntabilitas Melalui Transparansi
Salman menegaskan bahwa pembaruan standar sangat krusial dalam memperkuat akuntabilitas perusahaan. "Transparansi berarti berani menunjukkan capaian dan keterbatasan. Dari situlah laporan keberlanjutan bisa menjadi lebih bermakna," pungkasnya.
Pembaruan dalam standar laporan keberlanjutan ini menjadi langkah penting dalam mendorong perusahaan untuk lebih bertanggung jawab terhadap dampak sosial dan lingkungan. Seiring dengan meningkatnya perhatian dari publik dan investor, perusahaan tidak dapat lagi mengabaikan pentingnya laporan yang akurat dan transparan. Dengan pembaruan ini, diharapkan laporan keberlanjutan dapat menjadi instrumen yang lebih efektif dalam membangun kepercayaan dan mendorong perubahan positif di dalam perusahaan.
