Industri asuransi syariah di Indonesia kini menghadapi tantangan berat dalam memenuhi tuntutan permodalan di tengah persaingan dan regulasi yang semakin ketat. Permasalahan ini tidak hanya menyangkut efisiensi skala bisnis, tetapi juga kepercayaan publik yang kian mengkhawatirkan. Pakar asuransi syariah, Erwin Noekman, menegaskan bahwa industri ini memiliki beban besar untuk meyakinkan pemegang polis dan masyarakat mengenai eksistensinya yang wajib dipercaya dan diandalkan.
Situasi ini semakin rumit setelah terbitnya kebijakan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang mengatur kenaikan modal minimum. Dalam Peraturan OJK No 23/2023, perusahaan asuransi syariah diwajibkan untuk memenuhi ekuitas minimum sebesar Rp100 miliar paling lambat pada 31 Desember 2026. Erwin menjelaskan bahwa meski aturan ini bertujuan untuk memperkuat stabilitas industri, tekanan terhadap perusahaan kecil yang tidak memiliki modal yang cukup semakin meningkat.
Pakar ini mencatat bahwa saat ini, beberapa perusahaan sedang merumuskan strategi untuk menghadapi tantangan tersebut. Langkah-langkah yang diambil meliputi merger, akuisisi, dan spin off unit syariah agar perusahaan dapat beroperasi lebih efisien. Di antara opsi-opsi tersebut, spin off dianggap penting dengan harapan perusahaan dapat lebih fokus pada prinsip syariah dan meningkatkan transparansi kepada investor.
Spin off yang diatur dalam UU No 4/2023 dan diperkuat oleh POJK No 11/2023 memungkinkan entitas syariah untuk berdiri mandiri. “Spin-off cocok bila perusahaan induk ingin memisahkan lini bisnis yang karakternya berbeda,” ujar Erwin. Dengan langkah ini, diharapkan perusahaan memiliki daya tarik yang lebih besar bagi investor yang menginginkan investasi syariah yang murni.
Di sisi lain, bagi perusahaan yang terbatas dalam memenuhi modal minimum, bergabung dalam Kelompok Usaha Perasuransian (KUPA) menjadi pilihan alternatif. Melalui kerjasama ini, perusahaan kecil bisa mendapatkan dukungan modal dan manajemen dari entitas yang lebih besar. “Opsi ini memungkinkan perusahaan kecil untuk tetap beroperasi dalam ekosistem meskipun dengan kontrol yang terbatas,” tambahnya.
Selain opsi KUPA, penerbitan saham baru atau rights issue juga menjadi salah satu jalan untuk memperoleh tambahan modal dengan cepat. Menurut Erwin, tidak ada satu strategi saja yang tepat untuk seluruh jenis perusahaan. Setiap entitas perlu menyesuaikan strategi dengan kondisi internal dan kemampuan modal yang dimiliki.
Kombinasi antara merger, rights issue, dan efisiensi operasional diharapkan dapat menjadi solusi bagi perusahaan asuransi syariah untuk memenuhi kebutuhan modal pada 2026 dan menghadapi klasifikasi KPPE pada 2028. “Perencanaan yang matang dan dukungan kebijakan yang tepat sangat penting guna menciptakan industri asuransi syariah yang lebih kuat dan berkelanjutan,” jelas Erwin.
Transformasi ini bukanlah hal sepele, mengingat sektor asuransi syariah berlandaskan pada keadilan dan amanah. Keberhasilan dalam menghadapi tantangan permodalan dapat menambah kepercayaan masyarakat, serta memperkuat posisi industri di tengah kompetisi yang semakin ketat. Dengan langkah-langkah strategis yang tepat, industri ini memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang lebih pesat di masa mendatang.
Source: mediaindonesia.com
